Maret 14th, 2016 // ForBALI

Ribuan Warga Legian Desak Pencabutan Perpres 51/2014

Foto Legian Tolak Reklamasi  (2)

Rencana reklamasi Teluk Benoa oleh PT. Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI) seluas 700 hektar terus menuai penolakan dari desa adat. Kali ini giliran Desa Adat Legian bergerak dalam parade budaya untuk menolak rencana reklamasi tersebut.

Ribuan warga desa adat Legian dari berbagai umur bergerak menolak reklamasi Teluk Benoa.

Mengawali parade budaya desa adat Legian menolak reklamasi Teluk Benoa, massa dari desa adat berkumpul di tiga titik berbeda sesuai dengan lokasi yang paling dekat yaitu di Banjar Legian Kaja, Legian Tengah dan Legian Kelod. Tepat pada pukul 13.00 Wita, parade budaya diawali dengan pemasangan Baliho Legian tolak reklamasi Teluk Benoa di masing-masing banjar.

Selanjutnya massa dari Banjar Legian kelod berjalan menuju banjar Legian tengah mereka bergabung. Dari Banjar Legian Kelod, massa bergerak bersama menujut Pura Agung Desa Adat Legian untuk bertemu dengan massa dari Banjar Legian Kaja dan selanjutnya melakukan pemasangan Baliho di depan Pura Agung Desa Adat Legian.

Massa lalu bergerak bersama menuju panggung terbuka jaba sisi Pura Agung Desa Adat Legian. Dalam parade seni budaya ini masyarakat desa adat memadati sepanjang Jalan Raya Legian, Legian, Kuta, Bali.

Selama parade, massa diiringi dengan kemeriahan gong baleganjur bahkan sesampainya di depan Pura Agung Desa Adat Legian selain melakukan pemasangan Baliho tolak reklamasi Teluk Benoa, juga ada atraksi gong baleganjur, fragmen tari dan tarian barong bangkal persembahan dari sekaa teruna teruni (STT – organisasi pemuda adat di banjar) di Desa Adat Legian.

Mereka lalu bergerak menuju panggung terbuka. Di tempat tersebut massa Desa Adat Legian langsung disambut dengan tari sekar jagat yang juga dikenal dengan tari penyambutan.

Hadir juga dalam parade budaya tersebut Bendesa Adat Legian dan juga Majelis Alit Desa Pakraman Kecamatan Kuta dan juga berbagai komunitas yang ikut bersolidaritas.

Dalam sambutannya di atas panggung terbuka Bandesa Adat/Pakraman Legian menyampaikan, aksi di depan Pura Agung Desa Adat/Pakraman Legian sebagai simbol permohonan restu untuk gerakan menjaga alam Bali karena Pura Agung Legian adalah pura yang diyakini sebagai tempat bersemayamnya penguasa Desa Adat Legian.

”Aksi ini merupakan lanjutan dari keputusan paruman Desa Adat Legian dan diputuskan dengan tegas menolak reklamasi Teluk Benoa,” ungkap Bendesa Adat Legian, I Gusti Ngurah Sudiarsa.

“Kami meminta dan mendesak pencabutan Perpres 51 tahun 2014,” desak Bendesa. Desakan yang pencabutan perpres tersebut juga senada dengan surat pernyataan dari Desa Adat Legian nomor 02/DAL/I/2016 pada tanggal 28 Januari 2016.

Sementara itu, Bandesa Majelis Alit Desa Pakraman (MADP) Kecamatan Kuta, I Wayan Swarsa menyampaikan perjuangan desa adat/pakraman di Bali saat ini sudah semakin masif terkait dg penolakan rencana reklamasi. “Saat ini sdh ada 26 desa adat yang telah paruman (rapat) desa dan menyatakan menolak reklamasi. Apabila aspirasi adat ini tidak direspon baik oleh pemerintah, akan berpotensi mengganggu kamtibmas Bali,” paparnya.

Ia menjelaskan Para bendesa adat saat ini masih mengawal dan mengarahkan aspirasi puluhan ribu krama adat yang menolak reklamasi utk tetap berada di jalur yang benar dan tidak destruktif. Bukan saja dari warga adat di masing-masing desa adat/pakraman yang dipimpin, tetapi juga dari ribuan aspirasi terutama kaum muda di luar desa adat/pakraman yang belum terkondisikan dalam satu keputusan paruman di desa adat/pakramannya.

“Para bendesa adat berharap pada Bapak Presiden Indonesia untuk memperhatikan situasi ini dan segera mencabut Perpres no 51 tahun 2014. Kami para bendesa adat melangkah bersama-sama dengan Bapak Presiden untuk menjaga tanah Bali ini sebagai bagian utuh dari tanah nusantara,” pungkas Bandesa MADP yang juga Bandesa Pakraman/Adat Kuta.

Sementara itu, Wayan Gendo Suardana Koordinator ForBALI dalam orasinya mengingatkan kembali kejadian banjir yang pernah terjadi di desa adat Legian. Banjir yang terjadi tersebut menurutnya akibat dari naiknya muka air laut di Teluk Benoa dan pada saat yang sama debit air tukad mati sedang naik akibatnya air dari tukad mati tidak bias masuk ke laut sehingga membanjiri desa adat Legian. Jika Teluk Benoa terjadi pendangkalan seharus tidak diurug.

“Kalau Teluk Benoa terjadi pendangkalan kenapa harus diurug? Kenapa harus membangun pulau baru di Teluk Benoa?”tanyanya. ia juga menjelaskan bahwa rakyat Bali tidak anti terhadap investasi yang dilawan adalah investasi rakut yang tidak peduli dengan lingkungan dan masyarakat adat.

Selain atraksi gong baleganjur dan tari-tarian, parade budaya oleh desa adat Legian juga dimeriahkan oleh penampilan band dan musisi seperti FKP Band, Relung Kaca Project dan Navicula yang selama ini aktif menyuarakan penolakan reklamasi Teluk Benoa.

Foto Legian Tolak Reklamasi  (2)

Rencana reklamasi Teluk Benoa oleh PT. Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI) seluas 700 hektar terus menuai penolakan dari desa adat. Kali ini giliran Desa Adat Legian bergerak dalam parade budaya untuk menolak rencana reklamasi tersebut.

Ribuan warga desa adat Legian dari berbagai umur bergerak menolak reklamasi Teluk Benoa.

Mengawali parade budaya desa adat Legian menolak reklamasi Teluk Benoa, massa dari desa adat berkumpul di tiga titik berbeda sesuai dengan lokasi yang paling dekat yaitu di Banjar Legian Kaja, Legian Tengah dan Legian Kelod. Tepat pada pukul 13.00 Wita, parade budaya diawali dengan pemasangan Baliho Legian tolak reklamasi Teluk Benoa di masing-masing banjar.

Selanjutnya massa dari Banjar Legian kelod berjalan menuju banjar Legian tengah mereka bergabung. Dari Banjar Legian Kelod, massa bergerak bersama menujut Pura Agung Desa Adat Legian untuk bertemu dengan massa dari Banjar Legian Kaja dan selanjutnya melakukan pemasangan Baliho di depan Pura Agung Desa Adat Legian.

Massa lalu bergerak bersama menuju panggung terbuka jaba sisi Pura Agung Desa Adat Legian. Dalam parade seni budaya ini masyarakat desa adat memadati sepanjang Jalan Raya Legian, Legian, Kuta, Bali.

Selama parade, massa diiringi dengan kemeriahan gong baleganjur bahkan sesampainya di depan Pura Agung Desa Adat Legian selain melakukan pemasangan Baliho tolak reklamasi Teluk Benoa, juga ada atraksi gong baleganjur, fragmen tari dan tarian barong bangkal persembahan dari sekaa teruna teruni (STT – organisasi pemuda adat di banjar) di Desa Adat Legian.

Mereka lalu bergerak menuju panggung terbuka. Di tempat tersebut massa Desa Adat Legian langsung disambut dengan tari sekar jagat yang juga dikenal dengan tari penyambutan.

Hadir juga dalam parade budaya tersebut Bendesa Adat Legian dan juga Majelis Alit Desa Pakraman Kecamatan Kuta dan juga berbagai komunitas yang ikut bersolidaritas.

Dalam sambutannya di atas panggung terbuka Bandesa Adat/Pakraman Legian menyampaikan, aksi di depan Pura Agung Desa Adat/Pakraman Legian sebagai simbol permohonan restu untuk gerakan menjaga alam Bali karena Pura Agung Legian adalah pura yang diyakini sebagai tempat bersemayamnya penguasa Desa Adat Legian.

”Aksi ini merupakan lanjutan dari keputusan paruman Desa Adat Legian dan diputuskan dengan tegas menolak reklamasi Teluk Benoa,” ungkap Bendesa Adat Legian, I Gusti Ngurah Sudiarsa.

“Kami meminta dan mendesak pencabutan Perpres 51 tahun 2014,” desak Bendesa. Desakan yang pencabutan perpres tersebut juga senada dengan surat pernyataan dari Desa Adat Legian nomor 02/DAL/I/2016 pada tanggal 28 Januari 2016.

Sementara itu, Bandesa Majelis Alit Desa Pakraman (MADP) Kecamatan Kuta, I Wayan Swarsa menyampaikan perjuangan desa adat/pakraman di Bali saat ini sudah semakin masif terkait dg penolakan rencana reklamasi. “Saat ini sdh ada 26 desa adat yang telah paruman (rapat) desa dan menyatakan menolak reklamasi. Apabila aspirasi adat ini tidak direspon baik oleh pemerintah, akan berpotensi mengganggu kamtibmas Bali,” paparnya.

Ia menjelaskan Para bendesa adat saat ini masih mengawal dan mengarahkan aspirasi puluhan ribu krama adat yang menolak reklamasi utk tetap berada di jalur yang benar dan tidak destruktif. Bukan saja dari warga adat di masing-masing desa adat/pakraman yang dipimpin, tetapi juga dari ribuan aspirasi terutama kaum muda di luar desa adat/pakraman yang belum terkondisikan dalam satu keputusan paruman di desa adat/pakramannya.

“Para bendesa adat berharap pada Bapak Presiden Indonesia untuk memperhatikan situasi ini dan segera mencabut Perpres no 51 tahun 2014. Kami para bendesa adat melangkah bersama-sama dengan Bapak Presiden untuk menjaga tanah Bali ini sebagai bagian utuh dari tanah nusantara,” pungkas Bandesa MADP yang juga Bandesa Pakraman/Adat Kuta.

Sementara itu, Wayan Gendo Suardana Koordinator ForBALI dalam orasinya mengingatkan kembali kejadian banjir yang pernah terjadi di desa adat Legian. Banjir yang terjadi tersebut menurutnya akibat dari naiknya muka air laut di Teluk Benoa dan pada saat yang sama debit air tukad mati sedang naik akibatnya air dari tukad mati tidak bias masuk ke laut sehingga membanjiri desa adat Legian. Jika Teluk Benoa terjadi pendangkalan seharus tidak diurug.

“Kalau Teluk Benoa terjadi pendangkalan kenapa harus diurug? Kenapa harus membangun pulau baru di Teluk Benoa?”tanyanya. ia juga menjelaskan bahwa rakyat Bali tidak anti terhadap investasi yang dilawan adalah investasi rakut yang tidak peduli dengan lingkungan dan masyarakat adat.

Selain atraksi gong baleganjur dan tari-tarian, parade budaya oleh desa adat Legian juga dimeriahkan oleh penampilan band dan musisi seperti FKP Band, Relung Kaca Project dan Navicula yang selama ini aktif menyuarakan penolakan reklamasi Teluk Benoa.