Kehadiran Presiden Joko Widodo pada pembukaan Pesta Kesenian Bali 2016 dinodai oleh tindakan represif aparat terhadap warga yang hendak ingin menonton. Tidak hanya ada pengusiran, tetapi juga ada pemukulan terhadap dua aktivis lingkungan saat acara berlangsung di Lapangan Niti Mandala Renon, Sabtu (11/6).
Berdasarkan keterangan yang dihimpun, warga mendapatkan intimidasi karena menggunakan kaos Bali Tolak Reklamasi (BTR) yang hadir pada saat Jokowi hendak membuka Pesta Kesenian Bali (PKB).
Seperti disampaikan Endra Dinatha, penonton yang menggunakan kaos BTR. “Tiba-tiba aparat menghentikan dan melarang saya masuk ke dalam untuk melihat pertunjukan karena saya memakai kaos tolak reklamasi,” katanya.
Hal yang sama juga dialami oleh Agus Saskara. Aparat dengan berpakaian Turn Back Crime itu memaksa Agus membuka jaket. Karena melihat Agus menggunakan pakaian Desa Pekraman Denpasar Tolak Reklamasi, mereka kemudian menyuruh Agus pulang ke rumah untuk mengganti bajunya.
“Kalau sudah ganti baju, baru saya boleh menonton,” katanya.
Hal yang serupa ternyata terjadi dengan penonton lainnya yang hendak datang untuk menonton pawai pembukaan PKB menggunakan kaos tolak reklamasi. “Saya sangat menyesalkan tindakan aparat tersebut, masak gara-gara baju saja, saya dilarang menonton,” imbuh Agus.
Tidak hanya pengusiran oleh pihak aparat, bahkan juga terjadi tindakan kekerasan dengan pemukulan oleh diduga aparat terhadap dua aktivis lingkungan, di antaranya Wayan Adi Sumiarta, Pengacara Publik dan Suriadi Darmoko, Direktur Eksekutif WALHI Bali.
Dalam penjelasannya, Suriadi yang saat ini menjabat sebagai menceritakan usai berdebat dengan pria yang diduga seorang aparat. “Awalnya kami didorong-dorong, ketika saya berusaha menghindar agar tidak terjatuh akibat dorongan itu tiba-tiba rahang kanan saya dipukul hingga saya jatuh tersungkur,” ujarnya.
Di dalam perdebatan dengan aparat tersebut Suriadi bersama teman-temannya mempertanyakan alasan larangan menggunakan kaos Bali Tolak Reklamasi. Mengingat menurutnya tidak ada alasan yang jelas larangan menggunakan kaos tersebut, karena itu Ia pun tetap bertahan dengan argumennya.
“Kenapa saya menduga yang memukul saya adalah aparat berpakaian preman, karena mereka selalu mengatakan atas perintah atasan setiap melarang kita menggunakan baju tolak reklamasi,” tuturnya.
Suriadi mengalami pukulan di bagian rahang kanannya, sedangkan Adi Sumiarta mengalami pukulan sebanyak 3 kali dari belakang di bagian tengkuk kirinya. “Saya nggak melihat wajahnya, tapi dari video dan foto yang tersebar, polisi setidaknya bisa mengetahuinya,” ujar Adi saat ditemui.
Sementara itu, Wayan Gendo Suardana selaku Koordinator Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBALI) menyesali tindakan yang dilakukan oleh aparat terhadap warga yang ingin menonton PKB kemarin. “Ini kejadian paling lucu tahun 2016, penguasa ketakutan dengan baliho dan kaos tolak reklamasi,” tuturnya.
Bayangkan saja, banyak warga yang usir dan disuruh ganti kaos termasuk Gendo sendiri. “Padahal ini kan pesta rakyat, nggak ada pengumuman apa pun terkait ketentuan berpakaian,” terangnya.
Aparat disebutkan berdalih karena perintah atasan, padahal kaos ini dikatakan bukan kaos yang dilarang. “Ini kaos biasa saja, parahnya dan saking parnoknya, aktivis dipukuli sampai tersungkur,” herannya.
Kehadiran Presiden Joko Widodo pada pembukaan Pesta Kesenian Bali 2016 dinodai oleh tindakan represif aparat terhadap warga yang hendak ingin menonton. Tidak hanya ada pengusiran, tetapi juga ada pemukulan terhadap dua aktivis lingkungan saat acara berlangsung di Lapangan Niti Mandala Renon, Sabtu (11/6).
Berdasarkan keterangan yang dihimpun, warga mendapatkan intimidasi karena menggunakan kaos Bali Tolak Reklamasi (BTR) yang hadir pada saat Jokowi hendak membuka Pesta Kesenian Bali (PKB).
Seperti disampaikan Endra Dinatha, penonton yang menggunakan kaos BTR. “Tiba-tiba aparat menghentikan dan melarang saya masuk ke dalam untuk melihat pertunjukan karena saya memakai kaos tolak reklamasi,” katanya.
Hal yang sama juga dialami oleh Agus Saskara. Aparat dengan berpakaian Turn Back Crime itu memaksa Agus membuka jaket. Karena melihat Agus menggunakan pakaian Desa Pekraman Denpasar Tolak Reklamasi, mereka kemudian menyuruh Agus pulang ke rumah untuk mengganti bajunya.
“Kalau sudah ganti baju, baru saya boleh menonton,” katanya.
Hal yang serupa ternyata terjadi dengan penonton lainnya yang hendak datang untuk menonton pawai pembukaan PKB menggunakan kaos tolak reklamasi. “Saya sangat menyesalkan tindakan aparat tersebut, masak gara-gara baju saja, saya dilarang menonton,” imbuh Agus.
Tidak hanya pengusiran oleh pihak aparat, bahkan juga terjadi tindakan kekerasan dengan pemukulan oleh diduga aparat terhadap dua aktivis lingkungan, di antaranya Wayan Adi Sumiarta, Pengacara Publik dan Suriadi Darmoko, Direktur Eksekutif WALHI Bali.
Dalam penjelasannya, Suriadi yang saat ini menjabat sebagai menceritakan usai berdebat dengan pria yang diduga seorang aparat. “Awalnya kami didorong-dorong, ketika saya berusaha menghindar agar tidak terjatuh akibat dorongan itu tiba-tiba rahang kanan saya dipukul hingga saya jatuh tersungkur,” ujarnya.
Di dalam perdebatan dengan aparat tersebut Suriadi bersama teman-temannya mempertanyakan alasan larangan menggunakan kaos Bali Tolak Reklamasi. Mengingat menurutnya tidak ada alasan yang jelas larangan menggunakan kaos tersebut, karena itu Ia pun tetap bertahan dengan argumennya.
“Kenapa saya menduga yang memukul saya adalah aparat berpakaian preman, karena mereka selalu mengatakan atas perintah atasan setiap melarang kita menggunakan baju tolak reklamasi,” tuturnya.
Suriadi mengalami pukulan di bagian rahang kanannya, sedangkan Adi Sumiarta mengalami pukulan sebanyak 3 kali dari belakang di bagian tengkuk kirinya. “Saya nggak melihat wajahnya, tapi dari video dan foto yang tersebar, polisi setidaknya bisa mengetahuinya,” ujar Adi saat ditemui.
Sementara itu, Wayan Gendo Suardana selaku Koordinator Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBALI) menyesali tindakan yang dilakukan oleh aparat terhadap warga yang ingin menonton PKB kemarin. “Ini kejadian paling lucu tahun 2016, penguasa ketakutan dengan baliho dan kaos tolak reklamasi,” tuturnya.
Bayangkan saja, banyak warga yang usir dan disuruh ganti kaos termasuk Gendo sendiri. “Padahal ini kan pesta rakyat, nggak ada pengumuman apa pun terkait ketentuan berpakaian,” terangnya.
Aparat disebutkan berdalih karena perintah atasan, padahal kaos ini dikatakan bukan kaos yang dilarang. “Ini kaos biasa saja, parahnya dan saking parnoknya, aktivis dipukuli sampai tersungkur,” herannya.