September 12th, 2014 // ForBALI

Ingatlah Sanur yang Pernah Tak Berpantai

reklamasi-sanur

Oleh Ida Bagus Agung Partha

Tidak banyak yang tahu, ada satu masa di mana Sanur tidak memiliki pantai. Yang ada hanya tebing yang langsung berbatasan dengan laut. Ombaknya semakin hari semakin banyak mengikis daratan. Tebing setinggi 1-2 meter menjadi batas antara daratan dengan lautan.

Tidak juga banyak yang mengetahui saat pemilik-pemilik hotel di Sanur berada dalam situasi sangat sulit akibat banyaknya tamu-tamu yang kecewa. Para tamu tidak mendapatkan pantai yang tertera di brosur. Jangankan pantai yang tenang, pantainya saja tidak ada.

Semua berawal saat penguasa saat itu merestui pembangunan sebuah megaproyek Reklamasi yang menutup sebagian permukaan laut dan menyulapnya menjadi daratan. Ribuan bakau di tepian laut musnah. Ribuan biota yang hidup menjaga keseimbangan ekosistem pun ikut punah. Pulau Penyu yang menjadi identitas pulau itu kehilangan penyunya.

Sebuah bencana ekologi terjadi tanpa ada seorangpun yang sanggup mencegahnya.

Bencana yang tidak hanya berimplikasi lokal dengan hilangnya sejumlah penyangga kehidupan itu, melainkan juga berdampak pada daerah-daerah pesisir di sekitarnya.

Akibat reklamasi pada saat itu, ada perubahan arus yang memutar ke arah Sanur, mengikis pantai-pantainya sampai habis. Tak hanya sampai di Sanur, arus juga bergerak ke Ketewel, ke Pantai Lebih dan seluruh pesisir di bagian Tenggara Pulau Bali, dan mengakibatkan abrasi besar-besaran yang bahkan terus terjadi hingga kini.

Sanur barangkali sedikit “beruntung” karena di pesisirnya tumbuh industri pariwisata yang mampu membangun blok pertahanan sendiri untuk menahan gempuran ombak. Sanur juga beruntung karena beberapa bulan sesudahnya, BANK DUNIA datang membantu. Melalui sebuah konsorsium perusahaan Jepang bernama JICA, Sanur memiliki pantai buatan seperti saat ini.

Namun bagaimana dengan daerah-daerah lainnya yang tidak punya cukup dana segar untuk mempertahankan ujung tanahnya?

reklamasi-sanur-02

Saat penguasa dan para investornya menikmati ratusan hektar lahan secara cuma-cuma, mereka tetap terkikis abrasi. Saat kemudian tanah hasil reklamasi tersebut sudah beberapa kali berpindah tangan kepemilikan oleh pemodal besar yang keuntungan dari setiap proses pengalihannya pasti menggiurkan, tidak ada yang pernah benar-benar menghitung kerugian yang diakibatkan oleh dampak Reklamasi ini bagi daerah-daerah pesisir Tenggara.

Siapa yang pernah memikirkan nasib masyarakat Ketewel yang tanahnya semakin habis terkikis abrasi? Siapa pihak yang bertanggungjawab atas semakin dekatnya ruas jalan dengan pantai di Lebih, Kusamba dan lain-lain yang juga diakibatkan oleh abrasi? Jika kemudian pemanasan global dan fenomena-fenomena alam yang selalu dipersalahkan, siapa sebenarnya yang merusak alam?

Beberapa hari terakhir, wacana tentang Reklamasi kembali menghangat. Kali ini di daerah Teluk Benoa, tempat yang sebenarnya disakralkan dan menjadi simpul pertemuan lima aliran sungai. Semakin banyak keputusan-keputusan yang mengada-ada yang dikeluarkan oleh pemerintah, masyarakat semakin tidak bersimpati. Semakin hari semakin banyak masyarakat yang mengerti dampak-dampaknya dan melakukan penolakan.

Bukan hanya dampak ekologikal, melainkan juga dampak sosial, dampak kultural dan juga dampak spiritual yang sangat-sangat merugikan bagi masyarakat Bali.

Kita tidak akan menjabarkan satu per satu penjelasan dari dampak-dampak tersebut di sini, namun saat hari ini kita banyak mendengar wacana Pro-Kontra terhadap Rencana Reklamasi ini,

INGATLAH PADA SUATU MASA DI MANA SANUR PERNAH KEHILANGAN PANTAINYA KARENA REKLAMASI PULAU SERANGAN.

Sanur yang semestinya bukan hanya kita maknai sebagai Sanur, melainkan juga Bali dan semesta ini secara keseluruhan.

reklamasi-sanur

Oleh Ida Bagus Agung Partha

Tidak banyak yang tahu, ada satu masa di mana Sanur tidak memiliki pantai. Yang ada hanya tebing yang langsung berbatasan dengan laut. Ombaknya semakin hari semakin banyak mengikis daratan. Tebing setinggi 1-2 meter menjadi batas antara daratan dengan lautan.

Tidak juga banyak yang mengetahui saat pemilik-pemilik hotel di Sanur berada dalam situasi sangat sulit akibat banyaknya tamu-tamu yang kecewa. Para tamu tidak mendapatkan pantai yang tertera di brosur. Jangankan pantai yang tenang, pantainya saja tidak ada.

Semua berawal saat penguasa saat itu merestui pembangunan sebuah megaproyek Reklamasi yang menutup sebagian permukaan laut dan menyulapnya menjadi daratan. Ribuan bakau di tepian laut musnah. Ribuan biota yang hidup menjaga keseimbangan ekosistem pun ikut punah. Pulau Penyu yang menjadi identitas pulau itu kehilangan penyunya.

Sebuah bencana ekologi terjadi tanpa ada seorangpun yang sanggup mencegahnya.

Bencana yang tidak hanya berimplikasi lokal dengan hilangnya sejumlah penyangga kehidupan itu, melainkan juga berdampak pada daerah-daerah pesisir di sekitarnya.

Akibat reklamasi pada saat itu, ada perubahan arus yang memutar ke arah Sanur, mengikis pantai-pantainya sampai habis. Tak hanya sampai di Sanur, arus juga bergerak ke Ketewel, ke Pantai Lebih dan seluruh pesisir di bagian Tenggara Pulau Bali, dan mengakibatkan abrasi besar-besaran yang bahkan terus terjadi hingga kini.

Sanur barangkali sedikit “beruntung” karena di pesisirnya tumbuh industri pariwisata yang mampu membangun blok pertahanan sendiri untuk menahan gempuran ombak. Sanur juga beruntung karena beberapa bulan sesudahnya, BANK DUNIA datang membantu. Melalui sebuah konsorsium perusahaan Jepang bernama JICA, Sanur memiliki pantai buatan seperti saat ini.

Namun bagaimana dengan daerah-daerah lainnya yang tidak punya cukup dana segar untuk mempertahankan ujung tanahnya?

reklamasi-sanur-02

Saat penguasa dan para investornya menikmati ratusan hektar lahan secara cuma-cuma, mereka tetap terkikis abrasi. Saat kemudian tanah hasil reklamasi tersebut sudah beberapa kali berpindah tangan kepemilikan oleh pemodal besar yang keuntungan dari setiap proses pengalihannya pasti menggiurkan, tidak ada yang pernah benar-benar menghitung kerugian yang diakibatkan oleh dampak Reklamasi ini bagi daerah-daerah pesisir Tenggara.

Siapa yang pernah memikirkan nasib masyarakat Ketewel yang tanahnya semakin habis terkikis abrasi? Siapa pihak yang bertanggungjawab atas semakin dekatnya ruas jalan dengan pantai di Lebih, Kusamba dan lain-lain yang juga diakibatkan oleh abrasi? Jika kemudian pemanasan global dan fenomena-fenomena alam yang selalu dipersalahkan, siapa sebenarnya yang merusak alam?

Beberapa hari terakhir, wacana tentang Reklamasi kembali menghangat. Kali ini di daerah Teluk Benoa, tempat yang sebenarnya disakralkan dan menjadi simpul pertemuan lima aliran sungai. Semakin banyak keputusan-keputusan yang mengada-ada yang dikeluarkan oleh pemerintah, masyarakat semakin tidak bersimpati. Semakin hari semakin banyak masyarakat yang mengerti dampak-dampaknya dan melakukan penolakan.

Bukan hanya dampak ekologikal, melainkan juga dampak sosial, dampak kultural dan juga dampak spiritual yang sangat-sangat merugikan bagi masyarakat Bali.

Kita tidak akan menjabarkan satu per satu penjelasan dari dampak-dampak tersebut di sini, namun saat hari ini kita banyak mendengar wacana Pro-Kontra terhadap Rencana Reklamasi ini,

INGATLAH PADA SUATU MASA DI MANA SANUR PERNAH KEHILANGAN PANTAINYA KARENA REKLAMASI PULAU SERANGAN.

Sanur yang semestinya bukan hanya kita maknai sebagai Sanur, melainkan juga Bali dan semesta ini secara keseluruhan.