Februari 5th, 2016 // ForBALI

Catatan Penilaian Dokumen ANDAL Reklamasi

Ribuan Warga Bali Berdemo Tolak Reklamasi Teluk Benoa

Oleh I Made Iwan Dewantama (anggota tim ahli ForBali)

Secara umum dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL) dan Rencana Pengelolaan Lingkungan/Rencana Pemantauan Lingkungan (RKL/RPL) Rencana Kegiatan Revitalisasi Teluk Benoa dan Penambangan Pasir Laut, tidak memenuhi kaedah-kaedah penyusunan ANDAL terutama ditinjau dari sisi rekomendasi/persetujuan dan kesesuaian lokasi.

Sudah sangat jelas rencana kegiatan ini telah menimbulkan pro-kontra yang sangat tajam dan berlangsung lama, lebih dari tiga tahun. Banyak pihak, bisa dilihat dari lembaga kemasyarakatan dan organisasi yang mengirimkan surat penolakan secara resmi, tidak menginginkan berjalannya rencana kegiatan ini. Kesesuaian lokasi dari rencana kegiatan juga sangat dipaksakan, hanya mengacu pada peraturan presiden dan merusak tatanan hukum di tingkat daerah terutama terkait dengan peraturan daerah (perda) rencana tata ruang wilayah (RTRW) provinsi dan kabupaten/kota.

Hal ini tentu menimbulkan ketidakpastian hukum yang bisa menjadi preseden buruk di masa yang akan datang. Perda RTRW yang telah disusun dengan susah payah akhirnya harus berubah hanya karena ada perpres baru.

Perbedaan cara pandang masyarakat Bali terhadap Teluk Benoa tidak dipahami oleh pemrakarsa yang mengatakan bahwa Teluk Benoa merupakan kawasan yang sedang rusak dengan tingginya tingkat sedimentasi sehingga perlu direvitalisasi. Padahal masyarakat Bali melihat Teluk Benoa sebagai kawasan ekologi dan kawasan suci penting dibuktikan dengan indeks keanekaragaman hayati Teluk Benoa yang tinggi sebagaimana disebutkan dalam dokumen ANDAL serta menyimpan cadangan karbon.

Kalau cadangan karbon dibongkar dan diurug maka sangat berpotensi untuk mengganggu cadangan karbon di dalam Teluk Benoa. Secara ilmiah hal ini bisa dibuktikan dengan melakukan pengambilan sampel pasir (endapan) hingga kedalaman 5 meter lebih maka akan diketahui umur dari pasir (endapan) tersebut, disebut dengan istilah “carbon dating”.

Padahal “Strategi Pembangunan Rendah Emisi” yang dituangkan ke dalam rencana aksi nasional penurunan gas rumah kaca (RAN GRK) merupakan komitmen pemerintah RI secara internal dan eksternal (sering disampaikan dalam forum internasional).

Selanjutnya berikut tanggapan secara lebih detail:
1. Proyek ini mengacu pada Perpres 51/2014, padahal bertentangan dengan Perda Kabupaten Badung no.26/2013 ttg RTRWK. Argumentasi hukumnya mengacu pada pasal 21 ayat (1) UU no.26/2007 bahwa rencana rinci TR utk KSN diatur dengan Perpres. Ketika perpres 51 keluar berarti Perda Badung harus direvisi. Begitu juga Perda Bali no. 16/2009 ttg RTRWP Bali dan Perda Denpasar no.27/2011 ttg RTRW Dps.

HARUS ADA ARGUMENTASI HUKUM YANG LEBIH MEMBERIKAN KEPASTIAN HUKUM DI MANA PERATURAN PUSAT TIDAK BOLEH MERUSAK TATANAN HUKUM DAERAH!!!!!

2. Hal l-14 dijelaskan bahwa berdasarkan konsultasi publik di TB ada kegiatan bagan dan budidaya rumput laut. Di mana letak kegiatan tersebut dan siapa yang melakukan?

3. Pada tahap konstruksi (dijelaskan dari hal l_14 – l_90) tidak dijelaskan sama sekali kebutuhan air bersih. Tidak pula dijelaskan berapa tenaga kerja akan dikerahkan dalam tahap kontruksi? Hal ini sangat mengkhawatirkan karena BALI SEDANG MENGHADAPI PERSOALAN AIR BERSIH BAIK UNTUK KEPERLUAN AIR MINUM MAUPUN KEPERLUAN SUBAK.

4. Di hal l_41 tentang Ukuran Alur antar pulau reklamasi. Tidak dijelaskan bagaimana ukuran alur tersebut menjamin bahwa AIR AKAN MENGALIR, karena pergerakan air membutuhkan energi dan SANGAT KASAT MATA BISA DISAKSIKAN BAGAIMANA ALUR DI REKLAMASI SERANGAN MENJADI KOLAM DI MANA AIR TIDAK MENGALIR DAN BERPOTENSI MENJADI SUMBER PENYAKIT.

5. Pada hal l_56 ttg Pembangunan Pulau ke 9 yang berdekatan dengan MIDDLE MARKER bandara Ngurah Rai dan dijelaskan bahwa pemrakarsa (investor) mendapatkan rekomendasi dari Konsultan Surbana yg tidak jelas kompetensinya. MENGAPA TIDAK ADA KETERANGAN ATAU REKOMENDASI TEKNIS DARI PIHAK BANDARA/ANGKASA PURA III NGURAH RAI??

6. Hal I_57 ttg Pengurugan, penjelasan untuk memastikan tidak akan ada AIR KERUH yg masuk ke badan air (perairan Serangan, Sanur dan Tanjung Benoa hingga Nusa Dua) yang sangat berpotensi membunuh ekosistem perairan seperti rumput laut dan terumbu karang. TIDAK ADA Penjelasan keberadaan Silt Barricade.

7. Hal I_62 ttg Daya tampung air laut TB, di mana pemrakarsa menyatakan keberadaan “Studi Hidrologi TB” yang tidak pernah dibuka ke publik, padahal studi ini menjadi KOMPONEN KUNCI dalam dokumen AMDAL.

8. Hal I_66 ttg Pengadaan TK, TK yg akan diserap dalam tahap konstruksi adlh 273 orang, namun tdk dijelaskan di mana TK akan ditempatkan dan bagaimana sistem pengolahan limbahnya? Tidak ada jaminan bhw TK yg direkrut akan sebagian besar diambil dari TK lokal sehingga berpotensi menimbulkan konflik sosial.

9. Hal I_90 ttg Pengadaan TK pada tahap operasional, diperkirakan akan menyerap 153.801 orang, dengan komposisi 66% (101.700 orang) akan berasal dari lokal Bali. Di mana akan didapatkan TK sejumlah itu bila data statistik menunjukkan jumlah pengangguran di Bali sebanyak 38.000 (BPS, 2014)

10. Hal I_91 ttg kebutuhan air bersih, tidak ada kejelasan apakah pemrakarsa hanya akan menggunakan air laut sebagai bahan baku air bersih? Karena di dalamnya juga disebutkan beberapa konsep pemanfaatan termasuk daur ulang air hujan dan air sungai (permukaan), dan ini akan terkait dengan beberapa hal:
• teknologi mengubah air laut menjadi air minum yg sangat mahal sehingga masih sangat jarang dilakukan (belum ada di Indonesia)
• sumber air laut, dibutuhkan izin utk melakukan eksploitasi air laut dan pihak investor sama sekali tidak punya izin tsb
• bila air permukaan akan dipakai maka akan mengganggu sistem pertukaran air di dalam teluk

11. Hal I_100 ttg kebutuhan listrik, sebesar 167.337 kW akan sangat mempengaruhi (merusak) strategi yang sedang disiapkan Kemen ESDM utk pembangunan (penggunaan) energi terbarukan di Pulau Bali (ada SK Menteri ESDM ttg komite nasional energi baru/KNEB)

12. Hal III_173 disebutkan bahwa terganggunya lalu lintas laut oleh kegiatan penambangan pasir laut dianggap sebagai DAMPAK TIDAK PENTING, padahal area yang dilalui sangat luas yaitu dari lokasi pengambilan pasir hingga ke dalam Teluk Benoa. Tidak ada penjelasan mengenai kondisi lalu lintas di wilayah yang dilalui oleh kapal pengangkut pasir, padahal melewati selat Lombok yang relatif padat karena merupakan ALKI (alur laut kelautan Indonesia) dan selat Badung yang merupakan jalur utama transportasi laut menghubungkan Bali dan Nusa Penida. INI SANGAT GEGABAH!!!

Ditambah lagi tidak dimasukkannya data dari riset yang dilakukan Conservation International Indonesia mengenai keanekaragaman hayati mamalia laut di perairan selatan Bali yang dilakukan Nov-Des 2015 lalu. Datanya menunjukkan bahwa perairan selatan Bali dihuni oleh beberapa spesies mamalia laut yang sangat penting buat seluruh negara (karena ruaya mamalia laut terutama paus yang sangat luas) yaitu Sperm Whale (Physeter macrocephalus), Sei whale (Balaenoptera borealis), Bryde’s whale (Balaenoptera edeni), Spinner dolphins (Stenella longirostris), Spotted dolphins (Stenella attenuata), Risso’s dolphins (Grampus griseus), Fraser’s dolphins (Lagenodelphis hosei) dan bottlenose dolphins (Tursiops sp). Selain itu juga ditemukan megafauna laut lainnya misalnya penyu, sunfish (Mola mola), pari manta, hiu paus/whale shark (Rhincodon typus), hiu dan ular laut yang tidak teridentifikasi jenisnya.

13. Hal III_176 tentang pembuatan tanggul dan pengurugan yang dikategorikan sebagai dampak tidak penting. Sangat kelihatan pemrakarsa berusaha untuk menilai cakupan dan potensial dampak yang HANYA terjadi di dalam Teluk Benoa (mempersempit cakupan dan potensial dampak). Walaupun dijelaskan bahwa dalam pembuatan tanggul dan pengurugan akan menggunakan “silt barricade” untuk menghindari keluarnya materi endapan dan lumpur ke luar wilayah Teluk Benoa, namun tidak ada satu pihak pun yang berani menjamin tidak akan ada materi endapan/sedimentasi dan lumpur yang akan mencemari perairan hingga ke Sanur dan Tanjung Benoa, di saat dinamika perairan terbuka sangat tinggi terkait dengan arus laut, pasang surut, angin dan seterusnya.

Buktinya sangat jelas ketika reklamasi Pulau Serangan dilakukan dimana kemudian ada beberapa areal terumbu karang di Sanur yang hilang karena tertutup pasir/endapan, padahal terumbu karang tersebut merupakan destinasi wisata bahari.

14. Hal III_188 tentang perubahan pola hidrologi di mana pemrakarsa menggunakan pemodelan matematika di Tukad Mati, pertanyannya apakah pemodelan di Tukad Mati bisa diberlakukan pada 4 sungai lainnya yang bermuara di Teluk Benoa kalau data-data mengenai kondisi ke 5 daerah aliran sungai (DAS) selain luas DAS tidak dibahas sama sekali.

Bekerjanya 5 DAS utama ke dalam Teluk Benoa merupakan FAKTOR (PARAMETER) KUNCI yang harus mendapat perhatian besar karena terkait dengan potensi terjadinya “backwash” (dalam dokumen disebut “backwater”) yang mengakibatkan terjadinya banjir di wilayah sekitar Teluk Benoa yang memiliki ketinggian tanah dibawah 2 meter. Ilmu hidrologi di darat (DAS) harus diketemukan dengan ilmu dinamika kelautan (oceanografi) untuk wilayah teluk karena teluk seringkali berfungsi sebagai reservoar air dimana 2 energi besar bertemu yaitu energi air sungai dan energi gelombang laut.

Ribuan Warga Bali Berdemo Tolak Reklamasi Teluk Benoa

Oleh I Made Iwan Dewantama (anggota tim ahli ForBali)

Secara umum dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL) dan Rencana Pengelolaan Lingkungan/Rencana Pemantauan Lingkungan (RKL/RPL) Rencana Kegiatan Revitalisasi Teluk Benoa dan Penambangan Pasir Laut, tidak memenuhi kaedah-kaedah penyusunan ANDAL terutama ditinjau dari sisi rekomendasi/persetujuan dan kesesuaian lokasi.

Sudah sangat jelas rencana kegiatan ini telah menimbulkan pro-kontra yang sangat tajam dan berlangsung lama, lebih dari tiga tahun. Banyak pihak, bisa dilihat dari lembaga kemasyarakatan dan organisasi yang mengirimkan surat penolakan secara resmi, tidak menginginkan berjalannya rencana kegiatan ini. Kesesuaian lokasi dari rencana kegiatan juga sangat dipaksakan, hanya mengacu pada peraturan presiden dan merusak tatanan hukum di tingkat daerah terutama terkait dengan peraturan daerah (perda) rencana tata ruang wilayah (RTRW) provinsi dan kabupaten/kota.

Hal ini tentu menimbulkan ketidakpastian hukum yang bisa menjadi preseden buruk di masa yang akan datang. Perda RTRW yang telah disusun dengan susah payah akhirnya harus berubah hanya karena ada perpres baru.

Perbedaan cara pandang masyarakat Bali terhadap Teluk Benoa tidak dipahami oleh pemrakarsa yang mengatakan bahwa Teluk Benoa merupakan kawasan yang sedang rusak dengan tingginya tingkat sedimentasi sehingga perlu direvitalisasi. Padahal masyarakat Bali melihat Teluk Benoa sebagai kawasan ekologi dan kawasan suci penting dibuktikan dengan indeks keanekaragaman hayati Teluk Benoa yang tinggi sebagaimana disebutkan dalam dokumen ANDAL serta menyimpan cadangan karbon.

Kalau cadangan karbon dibongkar dan diurug maka sangat berpotensi untuk mengganggu cadangan karbon di dalam Teluk Benoa. Secara ilmiah hal ini bisa dibuktikan dengan melakukan pengambilan sampel pasir (endapan) hingga kedalaman 5 meter lebih maka akan diketahui umur dari pasir (endapan) tersebut, disebut dengan istilah “carbon dating”.

Padahal “Strategi Pembangunan Rendah Emisi” yang dituangkan ke dalam rencana aksi nasional penurunan gas rumah kaca (RAN GRK) merupakan komitmen pemerintah RI secara internal dan eksternal (sering disampaikan dalam forum internasional).

Selanjutnya berikut tanggapan secara lebih detail:
1. Proyek ini mengacu pada Perpres 51/2014, padahal bertentangan dengan Perda Kabupaten Badung no.26/2013 ttg RTRWK. Argumentasi hukumnya mengacu pada pasal 21 ayat (1) UU no.26/2007 bahwa rencana rinci TR utk KSN diatur dengan Perpres. Ketika perpres 51 keluar berarti Perda Badung harus direvisi. Begitu juga Perda Bali no. 16/2009 ttg RTRWP Bali dan Perda Denpasar no.27/2011 ttg RTRW Dps.

HARUS ADA ARGUMENTASI HUKUM YANG LEBIH MEMBERIKAN KEPASTIAN HUKUM DI MANA PERATURAN PUSAT TIDAK BOLEH MERUSAK TATANAN HUKUM DAERAH!!!!!

2. Hal l-14 dijelaskan bahwa berdasarkan konsultasi publik di TB ada kegiatan bagan dan budidaya rumput laut. Di mana letak kegiatan tersebut dan siapa yang melakukan?

3. Pada tahap konstruksi (dijelaskan dari hal l_14 – l_90) tidak dijelaskan sama sekali kebutuhan air bersih. Tidak pula dijelaskan berapa tenaga kerja akan dikerahkan dalam tahap kontruksi? Hal ini sangat mengkhawatirkan karena BALI SEDANG MENGHADAPI PERSOALAN AIR BERSIH BAIK UNTUK KEPERLUAN AIR MINUM MAUPUN KEPERLUAN SUBAK.

4. Di hal l_41 tentang Ukuran Alur antar pulau reklamasi. Tidak dijelaskan bagaimana ukuran alur tersebut menjamin bahwa AIR AKAN MENGALIR, karena pergerakan air membutuhkan energi dan SANGAT KASAT MATA BISA DISAKSIKAN BAGAIMANA ALUR DI REKLAMASI SERANGAN MENJADI KOLAM DI MANA AIR TIDAK MENGALIR DAN BERPOTENSI MENJADI SUMBER PENYAKIT.

5. Pada hal l_56 ttg Pembangunan Pulau ke 9 yang berdekatan dengan MIDDLE MARKER bandara Ngurah Rai dan dijelaskan bahwa pemrakarsa (investor) mendapatkan rekomendasi dari Konsultan Surbana yg tidak jelas kompetensinya. MENGAPA TIDAK ADA KETERANGAN ATAU REKOMENDASI TEKNIS DARI PIHAK BANDARA/ANGKASA PURA III NGURAH RAI??

6. Hal I_57 ttg Pengurugan, penjelasan untuk memastikan tidak akan ada AIR KERUH yg masuk ke badan air (perairan Serangan, Sanur dan Tanjung Benoa hingga Nusa Dua) yang sangat berpotensi membunuh ekosistem perairan seperti rumput laut dan terumbu karang. TIDAK ADA Penjelasan keberadaan Silt Barricade.

7. Hal I_62 ttg Daya tampung air laut TB, di mana pemrakarsa menyatakan keberadaan “Studi Hidrologi TB” yang tidak pernah dibuka ke publik, padahal studi ini menjadi KOMPONEN KUNCI dalam dokumen AMDAL.

8. Hal I_66 ttg Pengadaan TK, TK yg akan diserap dalam tahap konstruksi adlh 273 orang, namun tdk dijelaskan di mana TK akan ditempatkan dan bagaimana sistem pengolahan limbahnya? Tidak ada jaminan bhw TK yg direkrut akan sebagian besar diambil dari TK lokal sehingga berpotensi menimbulkan konflik sosial.

9. Hal I_90 ttg Pengadaan TK pada tahap operasional, diperkirakan akan menyerap 153.801 orang, dengan komposisi 66% (101.700 orang) akan berasal dari lokal Bali. Di mana akan didapatkan TK sejumlah itu bila data statistik menunjukkan jumlah pengangguran di Bali sebanyak 38.000 (BPS, 2014)

10. Hal I_91 ttg kebutuhan air bersih, tidak ada kejelasan apakah pemrakarsa hanya akan menggunakan air laut sebagai bahan baku air bersih? Karena di dalamnya juga disebutkan beberapa konsep pemanfaatan termasuk daur ulang air hujan dan air sungai (permukaan), dan ini akan terkait dengan beberapa hal:
• teknologi mengubah air laut menjadi air minum yg sangat mahal sehingga masih sangat jarang dilakukan (belum ada di Indonesia)
• sumber air laut, dibutuhkan izin utk melakukan eksploitasi air laut dan pihak investor sama sekali tidak punya izin tsb
• bila air permukaan akan dipakai maka akan mengganggu sistem pertukaran air di dalam teluk

11. Hal I_100 ttg kebutuhan listrik, sebesar 167.337 kW akan sangat mempengaruhi (merusak) strategi yang sedang disiapkan Kemen ESDM utk pembangunan (penggunaan) energi terbarukan di Pulau Bali (ada SK Menteri ESDM ttg komite nasional energi baru/KNEB)

12. Hal III_173 disebutkan bahwa terganggunya lalu lintas laut oleh kegiatan penambangan pasir laut dianggap sebagai DAMPAK TIDAK PENTING, padahal area yang dilalui sangat luas yaitu dari lokasi pengambilan pasir hingga ke dalam Teluk Benoa. Tidak ada penjelasan mengenai kondisi lalu lintas di wilayah yang dilalui oleh kapal pengangkut pasir, padahal melewati selat Lombok yang relatif padat karena merupakan ALKI (alur laut kelautan Indonesia) dan selat Badung yang merupakan jalur utama transportasi laut menghubungkan Bali dan Nusa Penida. INI SANGAT GEGABAH!!!

Ditambah lagi tidak dimasukkannya data dari riset yang dilakukan Conservation International Indonesia mengenai keanekaragaman hayati mamalia laut di perairan selatan Bali yang dilakukan Nov-Des 2015 lalu. Datanya menunjukkan bahwa perairan selatan Bali dihuni oleh beberapa spesies mamalia laut yang sangat penting buat seluruh negara (karena ruaya mamalia laut terutama paus yang sangat luas) yaitu Sperm Whale (Physeter macrocephalus), Sei whale (Balaenoptera borealis), Bryde’s whale (Balaenoptera edeni), Spinner dolphins (Stenella longirostris), Spotted dolphins (Stenella attenuata), Risso’s dolphins (Grampus griseus), Fraser’s dolphins (Lagenodelphis hosei) dan bottlenose dolphins (Tursiops sp). Selain itu juga ditemukan megafauna laut lainnya misalnya penyu, sunfish (Mola mola), pari manta, hiu paus/whale shark (Rhincodon typus), hiu dan ular laut yang tidak teridentifikasi jenisnya.

13. Hal III_176 tentang pembuatan tanggul dan pengurugan yang dikategorikan sebagai dampak tidak penting. Sangat kelihatan pemrakarsa berusaha untuk menilai cakupan dan potensial dampak yang HANYA terjadi di dalam Teluk Benoa (mempersempit cakupan dan potensial dampak). Walaupun dijelaskan bahwa dalam pembuatan tanggul dan pengurugan akan menggunakan “silt barricade” untuk menghindari keluarnya materi endapan dan lumpur ke luar wilayah Teluk Benoa, namun tidak ada satu pihak pun yang berani menjamin tidak akan ada materi endapan/sedimentasi dan lumpur yang akan mencemari perairan hingga ke Sanur dan Tanjung Benoa, di saat dinamika perairan terbuka sangat tinggi terkait dengan arus laut, pasang surut, angin dan seterusnya.

Buktinya sangat jelas ketika reklamasi Pulau Serangan dilakukan dimana kemudian ada beberapa areal terumbu karang di Sanur yang hilang karena tertutup pasir/endapan, padahal terumbu karang tersebut merupakan destinasi wisata bahari.

14. Hal III_188 tentang perubahan pola hidrologi di mana pemrakarsa menggunakan pemodelan matematika di Tukad Mati, pertanyannya apakah pemodelan di Tukad Mati bisa diberlakukan pada 4 sungai lainnya yang bermuara di Teluk Benoa kalau data-data mengenai kondisi ke 5 daerah aliran sungai (DAS) selain luas DAS tidak dibahas sama sekali.

Bekerjanya 5 DAS utama ke dalam Teluk Benoa merupakan FAKTOR (PARAMETER) KUNCI yang harus mendapat perhatian besar karena terkait dengan potensi terjadinya “backwash” (dalam dokumen disebut “backwater”) yang mengakibatkan terjadinya banjir di wilayah sekitar Teluk Benoa yang memiliki ketinggian tanah dibawah 2 meter. Ilmu hidrologi di darat (DAS) harus diketemukan dengan ilmu dinamika kelautan (oceanografi) untuk wilayah teluk karena teluk seringkali berfungsi sebagai reservoar air dimana 2 energi besar bertemu yaitu energi air sungai dan energi gelombang laut.