Oktober 27th, 2014 // ForBALI

Kembalikan Bali Kami: #BaliTolakReklamasi

campaign-BTR-01

Oleh Panji Krishna

“Earth provides enough to satisfy every man’s needs, but not every man’s greed.” – Mahatma Gandhi

Kutipan di atas sudah sangat mengambarkan bagaimana keharmonisan seungguhnya di dalam kehidupan di bumi ini. Jika kita cermati sejatinya manusia dan alam saling memberi dan membutuhkan tanpa akan ada kekurangan sedikit pun. Hidup manusia sangat tergantung pada alam. Tetapi manusia tetaplah manusia yang memiliki sifat “rakus” di dalam dirinya, itulah beda manusia dengan alam.

Manusia akan terlihat sangat bodoh ketika dikuasai sifat rakus itu sendiri.

Saya tidak memiliki darah keturunan Bali. Tapi semenjak almarhum kakek nenek saya mereka sudah menetap di pulau seribu pura ini sampai generasi saya. Sampai akhirnya saya sendiri menyebut diri saya orang Bali. Sejak kecil sebelum sekolah sampai selesai kuliah saya habiskan hidup saya di Bali, selesai kuliah saya hijrah ke Jakarta untuk berkarier.

Masa kecil saya, saya habiskan di daerah Bali timur tepatnya di Kabupaten Karangasem, kabupaten yg bisa dibilang budaya bali dan alamnya masih sangat alami. Karangasem termasuk kabupaten yang cukup tertinggal dibandingkan dengan kabupaten lainnya di Bali pada waktu itu. Pantai yang luas, pohon kelapa, sawah terasering yang indah sangat banyak terlihat pada masa itu.

Kebudayaan upacara-upacara adat di Bali sudah sangat melekat dalam keseharian saya. Salah satunya daerah wisata yang cukup tua di Karangasem yaitu Candidasa, daerah tempat saya tumbuh besar dan mengerti tentang Bali yang sangat terkenal di seluruh dunia.

Saat ini saya mungkin baru sadar Bali sangat terkenal bukan karena kemewahan tempat wisatanya tapi melainkan karena budaya, kearifan lokal, seni-nya dan kultur sosial masyarakatnya.

Sekarang Candidasa sudah tak seindah dulu seperti memori masa kecil saya. Garis pantai yang sangat luas sampai bisa dibuat untuk bermain sepak bola waktu kecil, sekarang sudah dibeton untuk menangkal gelombang pasang air laut. Artinya sudah tidak ada lagi pantai dan hamparan pasir putih. Yang ada hanyalah air laut dengan ombak ganasnya dan batu beton pemecah gelombang.

Mungkin ini yang disebut abrasi atau mungkin ini naiknya permukaan air laut secara berkala tiap tahunnya. Mungkin ini fenomena alam yang memang harus terjadi. Tapi saya sangat percaya alam seperti itu bukan karna alam tidak lagi bersahabat dengan kita melainkan kita yang sudah tidak bersahabat lagi dengan alam.

Saya juga sangat percaya alam hanya butuh keseimbangan dalam melanjutkan hidupnya. Ketika manusia tidak bisa memberikan keseimbangan itu maka alam akan membuat proses keseimbangan itu secara alami.

Dalam ajaran agama apa pun diajarkan bagaimana kita berhubungan dengan alam, mungkin ajaran leluhur di Bali mengenal dengan istilah Tri Hita Karana, dalam Islam pun juga ada, dan tentunya agama lain. Kemajuan teknologi dan perubahan gaya hidup manusia menyebabkan terkikisnya nilai-nilai kearifan lokal di Bali sehingga menyebabkan banyak dampak negatif bagi orang Bali sendiri. Menjadi budak di tanah surga sendiri.

Mendengar isu kawasan konservasi teluk benoa akan direklamasi, awalnya saya tidak terlalu menghiraukan tentang hal tersebut. Orang indonesia mungkin sudah muak untuk ngurusin orang lain apalagi alam. Buang sampah aja masih sembarangan apalagi ngurusin reklamasi. Lebih baik, kebanyakan orang indonesia memikirkan bagaimana bisa bertahan hidup dan bekerja hari ini untuk bisa makan esok hari, jadi boro-boro ngurusin reklamasi. Hahaha…

Tapi saya bersyukur saya tidak sebegitunya untuk bertahan hidup apalagi di kota besar seperti Jakarta saat ini. Mendengar isu reklamasi di Bali semakin ramai dan banyak aktivis, seniman dan kawan-kawan saya di Bali menyorakkan batalkan rekalamasi, saya pun mulai untuk mencari tahu sendiri apa sih reklamasi dan dampaknya terhadap Teluk Benoa, walaupun awalnya saya sangat pasif terhadap rencana tersebut.

Saya terkejut dan merasa hal ini sangat berbahaya untuk Bali kampung halaman saya, tempat memori masa kecil saya tumbuh besar. Saya berpikir belum reklmasi aja Candidasa sudah abrasi parah mungkin karena pembangunan yang tidak terkontrol atau apa saya tak tau, bagaimana nanti kalo reklamasi dilakukan?!

Saya makin mencari tahu dan membaca banyak bagaimana reklamasi sangat membahayakan Bali di masa depan dari segi alam, sosial budaya serta masyarakatnya sendiri. Dan memang sangat berbahaya.

Sekali lagi saya punya pandangan bahwa Bali terkenal bukan karena hotel, resort, villa atau bangunan mewahnya, melainkan karena alam, seni-budaya dan sosial manusianya. Itu yang menjadi “ruh” Bali sendiri. Tanpa kemewahan hotel atau resor pun Bali saya percaya tetap akan terkenal di dunia.

Berawal dari pemikiran tersebut saya sebagai desainer tidak bisa lagi pasif tinggal diam. Kampanye berikut mungkin membantu bagaimana Bali, khususnya Teluk Benoa, sesungguhnya tidak perlu direklamasi. Sosial campaign penolakan saya buat sedikit “nyentil” dan saya mencoba untuk mengembalikan kejayaan masa lalu Bali yang sudah mendunia tanpa “kemewahan” tak “manusiawi” seperti saat ini.

Kebesaran Bali sekali lagi terletak pada alam, adat budaya dan manusianya. Mari tunjukkan kebesaran kita kepada manusia “rakus” itu! Silakan sebarkan kalo mau!

campaign-BTR-02

campaign-BTR-03

campaign-BTR-04

campaign-BTR-05

campaign-BTR-06

campaign-BTR-01

Oleh Panji Krishna

“Earth provides enough to satisfy every man’s needs, but not every man’s greed.” – Mahatma Gandhi

Kutipan di atas sudah sangat mengambarkan bagaimana keharmonisan seungguhnya di dalam kehidupan di bumi ini. Jika kita cermati sejatinya manusia dan alam saling memberi dan membutuhkan tanpa akan ada kekurangan sedikit pun. Hidup manusia sangat tergantung pada alam. Tetapi manusia tetaplah manusia yang memiliki sifat “rakus” di dalam dirinya, itulah beda manusia dengan alam.

Manusia akan terlihat sangat bodoh ketika dikuasai sifat rakus itu sendiri.

Saya tidak memiliki darah keturunan Bali. Tapi semenjak almarhum kakek nenek saya mereka sudah menetap di pulau seribu pura ini sampai generasi saya. Sampai akhirnya saya sendiri menyebut diri saya orang Bali. Sejak kecil sebelum sekolah sampai selesai kuliah saya habiskan hidup saya di Bali, selesai kuliah saya hijrah ke Jakarta untuk berkarier.

Masa kecil saya, saya habiskan di daerah Bali timur tepatnya di Kabupaten Karangasem, kabupaten yg bisa dibilang budaya bali dan alamnya masih sangat alami. Karangasem termasuk kabupaten yang cukup tertinggal dibandingkan dengan kabupaten lainnya di Bali pada waktu itu. Pantai yang luas, pohon kelapa, sawah terasering yang indah sangat banyak terlihat pada masa itu.

Kebudayaan upacara-upacara adat di Bali sudah sangat melekat dalam keseharian saya. Salah satunya daerah wisata yang cukup tua di Karangasem yaitu Candidasa, daerah tempat saya tumbuh besar dan mengerti tentang Bali yang sangat terkenal di seluruh dunia.

Saat ini saya mungkin baru sadar Bali sangat terkenal bukan karena kemewahan tempat wisatanya tapi melainkan karena budaya, kearifan lokal, seni-nya dan kultur sosial masyarakatnya.

Sekarang Candidasa sudah tak seindah dulu seperti memori masa kecil saya. Garis pantai yang sangat luas sampai bisa dibuat untuk bermain sepak bola waktu kecil, sekarang sudah dibeton untuk menangkal gelombang pasang air laut. Artinya sudah tidak ada lagi pantai dan hamparan pasir putih. Yang ada hanyalah air laut dengan ombak ganasnya dan batu beton pemecah gelombang.

Mungkin ini yang disebut abrasi atau mungkin ini naiknya permukaan air laut secara berkala tiap tahunnya. Mungkin ini fenomena alam yang memang harus terjadi. Tapi saya sangat percaya alam seperti itu bukan karna alam tidak lagi bersahabat dengan kita melainkan kita yang sudah tidak bersahabat lagi dengan alam.

Saya juga sangat percaya alam hanya butuh keseimbangan dalam melanjutkan hidupnya. Ketika manusia tidak bisa memberikan keseimbangan itu maka alam akan membuat proses keseimbangan itu secara alami.

Dalam ajaran agama apa pun diajarkan bagaimana kita berhubungan dengan alam, mungkin ajaran leluhur di Bali mengenal dengan istilah Tri Hita Karana, dalam Islam pun juga ada, dan tentunya agama lain. Kemajuan teknologi dan perubahan gaya hidup manusia menyebabkan terkikisnya nilai-nilai kearifan lokal di Bali sehingga menyebabkan banyak dampak negatif bagi orang Bali sendiri. Menjadi budak di tanah surga sendiri.

Mendengar isu kawasan konservasi teluk benoa akan direklamasi, awalnya saya tidak terlalu menghiraukan tentang hal tersebut. Orang indonesia mungkin sudah muak untuk ngurusin orang lain apalagi alam. Buang sampah aja masih sembarangan apalagi ngurusin reklamasi. Lebih baik, kebanyakan orang indonesia memikirkan bagaimana bisa bertahan hidup dan bekerja hari ini untuk bisa makan esok hari, jadi boro-boro ngurusin reklamasi. Hahaha…

Tapi saya bersyukur saya tidak sebegitunya untuk bertahan hidup apalagi di kota besar seperti Jakarta saat ini. Mendengar isu reklamasi di Bali semakin ramai dan banyak aktivis, seniman dan kawan-kawan saya di Bali menyorakkan batalkan rekalamasi, saya pun mulai untuk mencari tahu sendiri apa sih reklamasi dan dampaknya terhadap Teluk Benoa, walaupun awalnya saya sangat pasif terhadap rencana tersebut.

Saya terkejut dan merasa hal ini sangat berbahaya untuk Bali kampung halaman saya, tempat memori masa kecil saya tumbuh besar. Saya berpikir belum reklmasi aja Candidasa sudah abrasi parah mungkin karena pembangunan yang tidak terkontrol atau apa saya tak tau, bagaimana nanti kalo reklamasi dilakukan?!

Saya makin mencari tahu dan membaca banyak bagaimana reklamasi sangat membahayakan Bali di masa depan dari segi alam, sosial budaya serta masyarakatnya sendiri. Dan memang sangat berbahaya.

Sekali lagi saya punya pandangan bahwa Bali terkenal bukan karena hotel, resort, villa atau bangunan mewahnya, melainkan karena alam, seni-budaya dan sosial manusianya. Itu yang menjadi “ruh” Bali sendiri. Tanpa kemewahan hotel atau resor pun Bali saya percaya tetap akan terkenal di dunia.

Berawal dari pemikiran tersebut saya sebagai desainer tidak bisa lagi pasif tinggal diam. Kampanye berikut mungkin membantu bagaimana Bali, khususnya Teluk Benoa, sesungguhnya tidak perlu direklamasi. Sosial campaign penolakan saya buat sedikit “nyentil” dan saya mencoba untuk mengembalikan kejayaan masa lalu Bali yang sudah mendunia tanpa “kemewahan” tak “manusiawi” seperti saat ini.

Kebesaran Bali sekali lagi terletak pada alam, adat budaya dan manusianya. Mari tunjukkan kebesaran kita kepada manusia “rakus” itu! Silakan sebarkan kalo mau!

campaign-BTR-02

campaign-BTR-03

campaign-BTR-04

campaign-BTR-05

campaign-BTR-06