November 20th, 2015 // ForBALI

Peringati Hari Puputan Margarana, ForBALI Kobarkan Semangat Puputan Tolak Reklamasi

Bertepatan dengan Hari Puputan Margarana, ribuan massa Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBALI) kembali turun ke jalan Jumat (20/11) kemarin. ForBALI terus menuntut dibatalkannya rencana reklamasi Teluk Benoa dan pencabutan Perpres No.51 Tahun 2014. Secara khusus, ForBALI juga mendesak DPRD Bali untuk menghentikan upaya-upaya yang memuluskan rencana menguruk Teluk Benoa seluas 700 hektar itu.

Foto Aksi ForBALI

“Salah satunya, hentikan upaya perubahan Perda No.16 Tahun 2009 tentang RTRWP Bali,” ujar Koordinator Divisi Politik ForBALI, Suriadi Darmoko. Pihaknya menegaskan, rencana reklamasi tidak saja akan merusak lingkungan di kawasan Teluk Benoa. Tapi juga di Lombok Barat dan Lombok Timur sebagai lokasi rencana penyedotan pasir. Apalagi, pasir yang akan dikeruk berjumlah sekitar 70 juta meter kubik atau setara dengan 23 juta truk pasir.

“Lokasi pengerukan pasir di lombok timur pasir di Lombok Timur itu fishing ground atau daerah tangkapan ikan. Mata pencaharian nelayan akan hilang karena rusaknya wilayah tangkapan mereka. Jadi reklamasi ini tidak saja mengancam Bali, tapi juga Indonesia,” tegas Suriadi.

Dikatakan, ngototnya upaya reklamasi sesunguhnya adalah bentuk kegagalpahaman terhadap masalah di Teluk Benoa. Jika terjadi pendangkalan disana, seharusnya dilakukan pendalaman. Bukan malah pengurukan yang justru akan menyebabkan pendangkalan permanen di Teluk Benoa. Padahal, hasil penelitian telah menyatakan ada 60 titik suci di kawasan itu.

“Teluk Benoa harus dikembalikan menjadi kawasan konservasi dan dikelola dengan cara-cara yang selaras dengan prinsip konservasi sehingga kelak Teluk Benoa benar-benar akan menjadi masa depan peradaban Indonesia,” jelas Suriadi.

Koordinator ForBALI, Wayan “Gendo” Suardana mengatakan, aksi turun ke jalan ini sekaligus memperingati Hari Puputan Margarana dan Hari Anak Internasional. Bila pejuang dalam Puputan Margarana melawan kerakusan kolonial, maka ForBALI melawan kerakusan penguasa dan pengusaha. Upaya ini sekaligus memperjuangkan kelangsungan alam untuk anak di masa mendatang.

“Jadi semangat nasionalisme tidak cukup hanya mengibarkan bendera merah putih tetapi adalah menjaga seluruh sumber daya alam bangsa ini supaya tidak dimiliki oleh segelintir elit, segelintir korporasi yang justru akan membuat cita-cita dari konstitusi pasal 33 itu menjadi terdistorsi,” ujarnya.

Gendo pun mengkritisi upaya revisi Perda RTRWP Bali oleh dewan. Menurutnya, upaya revisi tidak pernah dalam rangka membangun pola ruang dan struktur ruang yang bagus. Revisi RTRW selalu saja diupayakan untuk menjadi alat legitimasi bagi korporasi, modal, dan project semata. Apalagi upaya merevisi kali ini justru dikaitkan dengan Perpres No.51 Tahun 2014.

“Saya fikir ini hanya bagian dari melegitimasi kepentingan korporasi dan selalu begitu sehingga kepentingan ruang untuk publik, untuk rakyat tidak pernah menjadi prioritas. Tetapi hanya menjadi jargon saja. Kepentingan sesungguhnya adalah kepentingan modal dan menghindarkan pejabat berwenang dari tuntutan pidana ketika dia melanggar rencana tata ruang. Jadi ini bagian dari pemutihan pelanggaran tata ruang,” tegasnya.

Bertepatan dengan Hari Puputan Margarana, ribuan massa Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBALI) kembali turun ke jalan Jumat (20/11) kemarin. ForBALI terus menuntut dibatalkannya rencana reklamasi Teluk Benoa dan pencabutan Perpres No.51 Tahun 2014. Secara khusus, ForBALI juga mendesak DPRD Bali untuk menghentikan upaya-upaya yang memuluskan rencana menguruk Teluk Benoa seluas 700 hektar itu.

Foto Aksi ForBALI

“Salah satunya, hentikan upaya perubahan Perda No.16 Tahun 2009 tentang RTRWP Bali,” ujar Koordinator Divisi Politik ForBALI, Suriadi Darmoko. Pihaknya menegaskan, rencana reklamasi tidak saja akan merusak lingkungan di kawasan Teluk Benoa. Tapi juga di Lombok Barat dan Lombok Timur sebagai lokasi rencana penyedotan pasir. Apalagi, pasir yang akan dikeruk berjumlah sekitar 70 juta meter kubik atau setara dengan 23 juta truk pasir.

“Lokasi pengerukan pasir di lombok timur pasir di Lombok Timur itu fishing ground atau daerah tangkapan ikan. Mata pencaharian nelayan akan hilang karena rusaknya wilayah tangkapan mereka. Jadi reklamasi ini tidak saja mengancam Bali, tapi juga Indonesia,” tegas Suriadi.

Dikatakan, ngototnya upaya reklamasi sesunguhnya adalah bentuk kegagalpahaman terhadap masalah di Teluk Benoa. Jika terjadi pendangkalan disana, seharusnya dilakukan pendalaman. Bukan malah pengurukan yang justru akan menyebabkan pendangkalan permanen di Teluk Benoa. Padahal, hasil penelitian telah menyatakan ada 60 titik suci di kawasan itu.

“Teluk Benoa harus dikembalikan menjadi kawasan konservasi dan dikelola dengan cara-cara yang selaras dengan prinsip konservasi sehingga kelak Teluk Benoa benar-benar akan menjadi masa depan peradaban Indonesia,” jelas Suriadi.

Koordinator ForBALI, Wayan “Gendo” Suardana mengatakan, aksi turun ke jalan ini sekaligus memperingati Hari Puputan Margarana dan Hari Anak Internasional. Bila pejuang dalam Puputan Margarana melawan kerakusan kolonial, maka ForBALI melawan kerakusan penguasa dan pengusaha. Upaya ini sekaligus memperjuangkan kelangsungan alam untuk anak di masa mendatang.

“Jadi semangat nasionalisme tidak cukup hanya mengibarkan bendera merah putih tetapi adalah menjaga seluruh sumber daya alam bangsa ini supaya tidak dimiliki oleh segelintir elit, segelintir korporasi yang justru akan membuat cita-cita dari konstitusi pasal 33 itu menjadi terdistorsi,” ujarnya.

Gendo pun mengkritisi upaya revisi Perda RTRWP Bali oleh dewan. Menurutnya, upaya revisi tidak pernah dalam rangka membangun pola ruang dan struktur ruang yang bagus. Revisi RTRW selalu saja diupayakan untuk menjadi alat legitimasi bagi korporasi, modal, dan project semata. Apalagi upaya merevisi kali ini justru dikaitkan dengan Perpres No.51 Tahun 2014.

“Saya fikir ini hanya bagian dari melegitimasi kepentingan korporasi dan selalu begitu sehingga kepentingan ruang untuk publik, untuk rakyat tidak pernah menjadi prioritas. Tetapi hanya menjadi jargon saja. Kepentingan sesungguhnya adalah kepentingan modal dan menghindarkan pejabat berwenang dari tuntutan pidana ketika dia melanggar rencana tata ruang. Jadi ini bagian dari pemutihan pelanggaran tata ruang,” tegasnya.