Oleh Tjokorda Bagus Putra Marhaendra
Rupa-rupanya kasus Reklamasi Teluk Benoa (RTB) semakin runyam. Setelah ‘hujan duit’ di DPRD Bali terkait rekomendasi Dewan, kemudian disusul dengan persoalan ‘bongkar-pasang’ SK Gubernur sekarang beredar pula dokumentasi perjanjian oknum bendesa adat Benoa dengan pihak investor di hadapan notaris (Bali Post, 27/10). Hal ini merupakan salah satu bukti bahwa Bali tengah ‘digarap’ secara sistemik menuju pada kehancuran lingkungan, tatanan sosial dan budaya masyarakatnya. Celakanya, demi mengharapkan turunnya ‘hujan duit’, masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu, sampai saat ini belum menyadarinya (beda tipis dengan tidak perduli), bahkan cenderung menikmati datangnya kehancuran lingkungan, tradisi dan budayanya.
Mencermati berbagai perkembangan terkait dengan kasus RTB tersebut, dalam berbagai sisi dan perkembangannya, adalah sebagai akibat dari pengabaian masalah sebelumnya. Mari kita telaah satu per satu. Karena timbulnya rencana RTB tidak berdiri sendiri, hal ini merupakan akumulasi dari perubahan lingkungan di sekitarnya. Sebagian besar masyarakat Bali mungkin sudah lupa atau melupakan hal ini. Kita hanya bisa menangkap beberapa fenomenanya saja, namun di balik semua itu, seperti halnya dengan kasus bendesa adat Benoa itu, samar-samar orang bisa menduga-duga ke mana arahnya.
Awalnya dimulai dari adanya perluasan bandara Ngurah Rai yang mempengaruhi garis pantai Kuta dan sekitarnya. Namun sebelumnya ada bantuan dari Bank Dunia untuk menata pantai Kuta sebagai antisipasi perluasan bandara tersebut. Sosialisasi mengenai penataan pantai ini mendapat penolakan dari masyarakat Kuta, maka bantuan tersebut dialihkan ke pantai Sanur dan Semawang. Sekarang bisa dilihat bagaimana keadaan di pantai Kuta, yang menjadi langganan sampah akibat arus air laut dari garis pantai barat akibat ditelikung oleh perluasan bandara. Level muara sungai di pantai Kuta lebih rendah dari permukaan laut, sehingga saat pasang, air laut malah memasuki sungai dan membendung pembuangan limbah dari sungai. Bandingkan dengan hasil penataan pantai Sanur dan Semawang.
Adanya perubahan arus laut sebagai dampak dari perluasan bandara Ngurah Rai itu ditambah dengan pengurukan sebagian kawasan hutan bakau sebelah timur bandara untuk jalan tol, menyebabkan semakin parahnya abrasi di daerah Uluwatu, Pulau Pudut dan sekitarnya, juga termasuk daerah Serangan. Sebelumnya, karena terjadi air pasang konstan di daerah Serangan, solusi yang diambil untuk mengatasi masalah itu adalah dengan pengurukan, sehingga menuju Pura Sakenan lebih mudah melalui daratan. Kini, akumulasi dampak dari kedua pengurukan tersebut, selain mempercepat sedimentasi pada pelabuhan Benoa, juga memperkuat arus balik yang menggerus Pulau Pudut. Kondisi ini memosisikan areal Pulau Pudut menjadi pusat pusaran arus dari timur dan barat, tentu luasnya akan semakin menyusut. Inilah reaksi anomali alami yang harus diterima sebagai akibat intervensi manusia terhadap alam.
Apa hubungannya? Mengapa bisa seperti itu? Intervensi manusia terhadap proses alamiah lingkungan menyebabkan berbagai reaksi alam yang tidak terduga. Manusia dengan logikanya mengukur reaksi alam menurut ukurannya sendiri, padahal alam pun memiliki reaksi atas perlakuan manusia yang tidak bisa diprediksi manusia. Beginilah jadinya bila manusia merasa dirinya bisa mengatur alam. Manusia sering lupa kalau dirinya adalah bagian dari alam, sehingga tidak berupaya mensinkronisasikan diri dengan alam, tetapi memaksa alam bersinkronisasi dengan berbagai keinginan tak terbatas manusia. Sungguh berbeda jauh dengan spirit ajaran Tri Hita Karana. Mengenai bagaimana perkasa dan tidak terduganya gerak alam ini, kita semestinya banyak belajar dari apa yang terjadi di kepulauan Jepang.
Jepang sebelum tsunami hebat itu telah memperhitungkan akan datangnya bahaya gempa besar sebagai siklus alam yang berulang setiap ratusan tahun sekali. Informasi dasarnya berasal dari para ahli sejarah Jepang, yang menemukan catatan kuno mengenai suatu peristiwa alam hebat yang melanda kepulauan Jepang ratusan tahun lalu. Hasil analisis para pakar konstruksi Jepang memprediksikan bahwa gempa yang akan datang itu diperkirakan di atas 7 Skala Richter (SR). Karena itu, pemerintah Jepang mengeluarkan peraturan baru mengenai struktur bangunan tahan gempa yang lebih dari 7 SR. Karena tidak ada referensi pendukung bahwa pernah terjadi gempa lebih besar dari itu. Namun belum rampung semua menerapkan standar konstruksi baru itu, Jepang sudah luluh-lantak oleh gempa yang disertai tsunami. Bahkan reaktor nuklir pembangkit listrik di Fukushima, yang dibangun dengan struktur bangunan berstandar paling tinggi pun harus menyerah. Tercatat gempa yang melanda Jepang itu berkekuatan 8,9 SR.
Lalu bagaimana dengan reklamasi Tanjung Benoa (Pulau Pudut dan sekitarnya)? Alasan paling sederhana mengapa reklamasi itu dinyatakan tidak layak adalah, semakin diperluas areal di daerah pusat pusaran arus laut itu, maka semakin besar tekanan samping yang diberikan pada daerah sekitarnya. Itu berarti, tekanan pusar (gerusan) yang diberikan pada daerah pesisir seperti di Suwung, Benoa dan Kelan akan semakin besar dan meluas sampai ke pesisir Uluwatu.
Bila reklamasi tersebut tetap dilakukan, maka kemungkinan besar gelombang pasang dapat melampaui areal patung Ngurah Rai, daerah Suwung sampai Blanjong dan sekitarnya. Kita bisa bandingkan dengan apa yang terjadi di pantai Kuta akibat perluasan bandara Ngurah Rai itu. Orang boleh mengatakan argumen ini tidak masuk akal, lalu bagaimana dengan gempa dan tsunami di Jepang? Adakah yang lebih masuk akal dari itu?
sumber: Bali Post 31 Oktober 2013
Oleh Tjokorda Bagus Putra Marhaendra
Rupa-rupanya kasus Reklamasi Teluk Benoa (RTB) semakin runyam. Setelah ‘hujan duit’ di DPRD Bali terkait rekomendasi Dewan, kemudian disusul dengan persoalan ‘bongkar-pasang’ SK Gubernur sekarang beredar pula dokumentasi perjanjian oknum bendesa adat Benoa dengan pihak investor di hadapan notaris (Bali Post, 27/10). Hal ini merupakan salah satu bukti bahwa Bali tengah ‘digarap’ secara sistemik menuju pada kehancuran lingkungan, tatanan sosial dan budaya masyarakatnya. Celakanya, demi mengharapkan turunnya ‘hujan duit’, masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu, sampai saat ini belum menyadarinya (beda tipis dengan tidak perduli), bahkan cenderung menikmati datangnya kehancuran lingkungan, tradisi dan budayanya.
Mencermati berbagai perkembangan terkait dengan kasus RTB tersebut, dalam berbagai sisi dan perkembangannya, adalah sebagai akibat dari pengabaian masalah sebelumnya. Mari kita telaah satu per satu. Karena timbulnya rencana RTB tidak berdiri sendiri, hal ini merupakan akumulasi dari perubahan lingkungan di sekitarnya. Sebagian besar masyarakat Bali mungkin sudah lupa atau melupakan hal ini. Kita hanya bisa menangkap beberapa fenomenanya saja, namun di balik semua itu, seperti halnya dengan kasus bendesa adat Benoa itu, samar-samar orang bisa menduga-duga ke mana arahnya.
Awalnya dimulai dari adanya perluasan bandara Ngurah Rai yang mempengaruhi garis pantai Kuta dan sekitarnya. Namun sebelumnya ada bantuan dari Bank Dunia untuk menata pantai Kuta sebagai antisipasi perluasan bandara tersebut. Sosialisasi mengenai penataan pantai ini mendapat penolakan dari masyarakat Kuta, maka bantuan tersebut dialihkan ke pantai Sanur dan Semawang. Sekarang bisa dilihat bagaimana keadaan di pantai Kuta, yang menjadi langganan sampah akibat arus air laut dari garis pantai barat akibat ditelikung oleh perluasan bandara. Level muara sungai di pantai Kuta lebih rendah dari permukaan laut, sehingga saat pasang, air laut malah memasuki sungai dan membendung pembuangan limbah dari sungai. Bandingkan dengan hasil penataan pantai Sanur dan Semawang.
Adanya perubahan arus laut sebagai dampak dari perluasan bandara Ngurah Rai itu ditambah dengan pengurukan sebagian kawasan hutan bakau sebelah timur bandara untuk jalan tol, menyebabkan semakin parahnya abrasi di daerah Uluwatu, Pulau Pudut dan sekitarnya, juga termasuk daerah Serangan. Sebelumnya, karena terjadi air pasang konstan di daerah Serangan, solusi yang diambil untuk mengatasi masalah itu adalah dengan pengurukan, sehingga menuju Pura Sakenan lebih mudah melalui daratan. Kini, akumulasi dampak dari kedua pengurukan tersebut, selain mempercepat sedimentasi pada pelabuhan Benoa, juga memperkuat arus balik yang menggerus Pulau Pudut. Kondisi ini memosisikan areal Pulau Pudut menjadi pusat pusaran arus dari timur dan barat, tentu luasnya akan semakin menyusut. Inilah reaksi anomali alami yang harus diterima sebagai akibat intervensi manusia terhadap alam.
Apa hubungannya? Mengapa bisa seperti itu? Intervensi manusia terhadap proses alamiah lingkungan menyebabkan berbagai reaksi alam yang tidak terduga. Manusia dengan logikanya mengukur reaksi alam menurut ukurannya sendiri, padahal alam pun memiliki reaksi atas perlakuan manusia yang tidak bisa diprediksi manusia. Beginilah jadinya bila manusia merasa dirinya bisa mengatur alam. Manusia sering lupa kalau dirinya adalah bagian dari alam, sehingga tidak berupaya mensinkronisasikan diri dengan alam, tetapi memaksa alam bersinkronisasi dengan berbagai keinginan tak terbatas manusia. Sungguh berbeda jauh dengan spirit ajaran Tri Hita Karana. Mengenai bagaimana perkasa dan tidak terduganya gerak alam ini, kita semestinya banyak belajar dari apa yang terjadi di kepulauan Jepang.
Jepang sebelum tsunami hebat itu telah memperhitungkan akan datangnya bahaya gempa besar sebagai siklus alam yang berulang setiap ratusan tahun sekali. Informasi dasarnya berasal dari para ahli sejarah Jepang, yang menemukan catatan kuno mengenai suatu peristiwa alam hebat yang melanda kepulauan Jepang ratusan tahun lalu. Hasil analisis para pakar konstruksi Jepang memprediksikan bahwa gempa yang akan datang itu diperkirakan di atas 7 Skala Richter (SR). Karena itu, pemerintah Jepang mengeluarkan peraturan baru mengenai struktur bangunan tahan gempa yang lebih dari 7 SR. Karena tidak ada referensi pendukung bahwa pernah terjadi gempa lebih besar dari itu. Namun belum rampung semua menerapkan standar konstruksi baru itu, Jepang sudah luluh-lantak oleh gempa yang disertai tsunami. Bahkan reaktor nuklir pembangkit listrik di Fukushima, yang dibangun dengan struktur bangunan berstandar paling tinggi pun harus menyerah. Tercatat gempa yang melanda Jepang itu berkekuatan 8,9 SR.
Lalu bagaimana dengan reklamasi Tanjung Benoa (Pulau Pudut dan sekitarnya)? Alasan paling sederhana mengapa reklamasi itu dinyatakan tidak layak adalah, semakin diperluas areal di daerah pusat pusaran arus laut itu, maka semakin besar tekanan samping yang diberikan pada daerah sekitarnya. Itu berarti, tekanan pusar (gerusan) yang diberikan pada daerah pesisir seperti di Suwung, Benoa dan Kelan akan semakin besar dan meluas sampai ke pesisir Uluwatu.
Bila reklamasi tersebut tetap dilakukan, maka kemungkinan besar gelombang pasang dapat melampaui areal patung Ngurah Rai, daerah Suwung sampai Blanjong dan sekitarnya. Kita bisa bandingkan dengan apa yang terjadi di pantai Kuta akibat perluasan bandara Ngurah Rai itu. Orang boleh mengatakan argumen ini tidak masuk akal, lalu bagaimana dengan gempa dan tsunami di Jepang? Adakah yang lebih masuk akal dari itu?
sumber: Bali Post 31 Oktober 2013





