Mei 4th, 2017 // ForBALI

ForBALI Tuntut Bupati dan Kapolres Klungkung Minta Maaf

Foto Pengibaran Atribut Tolak Reklamasi Teluk Benoa 1 Mei 2017 (2)

Insiden perampasan bendera tolak reklamasi Teluk Benoa berisikan logo ForBALI beserta baju bertuliskan Klungkung tolak reklamasi oleh pihak Kepolisian pada saat Semarapura Festival pada tanggal 1 Mei 2017 menuai respon langsung dari Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa (ForBALI). Atas insiden tersebut, ForBALI mengirimkan surat protes terbuka kepada pihak Kapolres Klungkung serta Bupati Klungkung. Protes ForBALI atas insiden tersebut diungkapkan di dalam konferensi pers di Taman Baca Kesiman pada Kamis 4 Mei 207 pukul 14.00 wita.

Gede Arta Dwipa selaku koordinator ForBALI Klungkung bersama Putu Agus Anugraha yang hadir di dalam konfernsi pers tersebut menjelaskan kronologis kejadian secara rinci atas insiden perampasan bendera tolak reklamasi Teluk Benoa beserta baju yang mereka kibarkan pada acara Semarapura Festival tersebut.

Menurut Putu Agus Anugraha, korban perampasan baju dan bendera menjelaskan tentang bendera dan bajunya dirampas oleh polisi. Pada saat itu Lolot Band mulai tampil di panggung, dirinya langsung mengibarkan bendera yang bertuliskan Klungkung tolak reklamasi Teluk Benoa. Selang beberapa saat setelah mengibarkan bendera dari arah kanannya ada polisi datang merampas bendera.

Beberapa menit setelah kejadian perampasan tersebut, Ia kembali mengeluarkan bendera baru dan mengibarkan bendera untuk kedua kalinya namun pengibaran juga dirampas oleh Polisi. “Ketika bendera sudah dirampas untuk kedua kalinya, saya buka baju saya, kebetulan baju yang saya pakai adalah baju Klungkung tolak reklamasi. Saya lepas baju saya itu dan saya kibarkan tapi dirampas lagi oleh Polisi, sampai akhirnya saya pulang tidak pakai baju,” tuturnya.

Arta Dwipa yang menjelaskan pengibaran bendera tolak reklamasi Teluk Benoa sebagai bentuk ekspresi untuk beraspirasi terhadap isu reklamasi Teluk Benoa karena kebetulan pada saat yang sama, Semarapura Festival dihadiri oleh Bupati Klungkung. Atas kejadian perampasan bendera tersebut, pihaknya langsung mencari polisi yang membawa bendera tolak reklamasi teluk benoa ke sebelah kanan panggung.

Menurut keterangan Polisi, perampasan bendera dilakukan karena tiang-tiang bendera berbahaya dan bisa melukai. Ia lantas meminta bendera tolak reklamasi Teluk Benoa dikembalikan tanpa tiangnya, namun pihak polisi menolak memberikan bendera tolak reklamasi Teluk Benoa tersebut. “Polisi yang merampas dan melarang pengibaran bendera tolak reklamasi Teluk Benoa di acara Semarapura Festival 2017 karena atas perintah atasan,” ujar Arta Dwipa.

Akibat insiden perampasan bendera tersebut, terjadi perdebatan antara Arta Dwipa dengan polisi yang merampas bendera sehingga orang-orang mengerumuninya. Menurtunya, 7 Bendera yang dirampas dan dibawa aparat sambil mengatakan bahwa bendera itu bisa dicari ke panitia setelah acara. Usai acara, 7 bendera tolak reklamasi Teluk Benoa yang bergambar logo ForBALI tersebut mereka ambil kembali. “2 baju bertuliskan Klungkung tolak reklamasi yang mereka rampas tidak dikembalikan” ujarnya.

Di dalam konferensi pers tersebut, Suriadi Darmoko Koordinator Divisi Politik ForBALI, menunjukkan sejumlah bukti berupa video dan foto saat insiden perampasan baju dan bendera tolak reklamasi Teluk Benoa di acara Semarapura Festival. ”Atas insiden tersebut, ForBALI secara resmi telah mengirimkan surat protes terbuka yang ditujukan kepada Kapolda Bali cq Kapolres Klungkung dan Bupati Klungkung serta ditembuskan kepada Komnas HAM,” ujarnya sembari memperlihatkan bukti pengiriman suratnya per tanggal 4 Mei 2017.

Menurutnya, pengiriman surat protes kepada Kapolres Klungkung dan Bupati Klungkung didasari atas fakta keterlibatan aktif pihak Kepolisian dalam membungkam gerakan tolak reklamasi Teluk Benoa dengan dalih mengamankan tiang bendera. Polisi di lapangan yang melarang dan merampas atribut tolak reklamasi Teluk Benoa berdasarkan perintah atasan. “Pernyataan bahwa tindakan tersebut dilakukan atas perintah atasan sebagaimana yang disampaikan oleh polisi lapangan mengindikasikan bahwa ada keterlibatan institusi Kepolisian di dalam perampasan baju dan bendera tolak reklamasi teluk benoa tersebut,” ujarnya.

Menurut Suriadi, kejadian tersebut bisa saja dicegah oleh pihak panitia penyelenggara acara yaitu Pemkab Klungkung, namun pencegahan itu menjadi mustahil ketika polisi memerintahkan para aktivis ForBALI Klungkung untuk mengambil benderanya bendera yang mereka rampas ke panitia. “Dugaan kami, telah ada koordinasi yang sudah berjalan antara Kepolisian dengan Pemkab Klungkung sehingga terjadi perampasan baju dan bendera tolak reklamasi tersebut. Menurut kami pemerintah Kabupaten Klungkung telah melakukan pembiaran terjadinya perampasan bendera dan baju tolak reklamasi teluk benoa tersebut,” ungkap Suriadi.

Foto Konferensi Pers 4 Mei 2017 (2)Dalam empat point tuntutan surat protes ForBALI yang disampaikan kepada Kapolres dan Bupati Klungkung, secara tegas mengecam tindakan pelarangan disertai dengan perampasan dan termasuk memprotes pembiaran terjadinya perampasan atribut tolak reklamasi Teluk Benoa. “Kami menuntut menuntut Kapolres Klungkung dan Bupati Klungkung untuk meminta maaf atas insiden pelarangan dan perampasan atribut tolak reklamasi Teluk Benoa oleh Kepolisian yang disertai dengan pembiaran oleh Pemerintah Kabupaten Klungkung karena tindakan tersebut merupakan pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi dan melanggar hak asasi manusia,” tuntutnya.

Sementara itu, Koordinator Tim hukum ForBALI, I Made Ariel Suardana selain mengirimkan surat protes, ForBALI juga meladeni tindakan Kepolisian, termasuk adanya unsur pembiaran dan keterlibatan panitia dari Pemkab Klungkung. “Kami ingin tau lebih dalam nanti melalui proses investigasi untuk mengetahui inisiatif siapa sesungguhnya yang memberikan perintah, apakah perintah itu muncul dari panitia cq Pemkab melalui bupatinya atau polisi sendiri yang memiliki inisiatif. Ini penting untuk kita ketahui sehingga keterlibatan kedua institusi ini menjadi jelas,” ujarnya.

“Jika tindakan permintaan maaf ini tidak dilakukan kami memastikan bahwa seluruh kejadian yang terjadi di Klungkung akan masuk pada proses hukum dengan melaporkan setiap orang yang berusaha menghalang-halangi, membatasi kebebasan berekspresi itu. Termasuk kami sudah pastikan akan melaporkan secara resmi sampai oknum Kepolisian termasuk institusinya Polres Klungkung secara berjenjang kepada Kapolda Bali, Kepada Kapolri, Propam Mabes Polri dan Kompolnas,” ujar Made Ariel.

Tim Hukum ForBALI menurutnya juga akan mengingatkan Komnas HAM terkait dengan rekomendasi Komnas HAM yang pernah terbit atas beberapa kejadian yang muncul. Pertama kejadian pelarangan pemakaian baju tolak reklamasi di Tabanan. Kedua pemukulan aktivis waktu pembukaan PKB. Selanjutnya, tindakan untuk menurunkan baliho secara paksa.

“Pembungkaman tersebut sampai hari ini masih terus terjadi secara massive dan selalu berdasarkan perintah. Karena itu kami mendorong kasus ini untuk dibawa ke Komnas HAM sehingga diharapkan rekomendasi yang tidak dilakukan oleh institusi dapat ditindaklanjuti melalui proses penyelidikan yang dilakukan secara khusus oleh Komnas HAM dengan harapan melahirkan proses hukum yaitu peradilan HAM,” pungkas Made Ariel.

Foto Pengibaran Atribut Tolak Reklamasi Teluk Benoa 1 Mei 2017 (2)

Insiden perampasan bendera tolak reklamasi Teluk Benoa berisikan logo ForBALI beserta baju bertuliskan Klungkung tolak reklamasi oleh pihak Kepolisian pada saat Semarapura Festival pada tanggal 1 Mei 2017 menuai respon langsung dari Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa (ForBALI). Atas insiden tersebut, ForBALI mengirimkan surat protes terbuka kepada pihak Kapolres Klungkung serta Bupati Klungkung. Protes ForBALI atas insiden tersebut diungkapkan di dalam konferensi pers di Taman Baca Kesiman pada Kamis 4 Mei 207 pukul 14.00 wita.

Gede Arta Dwipa selaku koordinator ForBALI Klungkung bersama Putu Agus Anugraha yang hadir di dalam konfernsi pers tersebut menjelaskan kronologis kejadian secara rinci atas insiden perampasan bendera tolak reklamasi Teluk Benoa beserta baju yang mereka kibarkan pada acara Semarapura Festival tersebut.

Menurut Putu Agus Anugraha, korban perampasan baju dan bendera menjelaskan tentang bendera dan bajunya dirampas oleh polisi. Pada saat itu Lolot Band mulai tampil di panggung, dirinya langsung mengibarkan bendera yang bertuliskan Klungkung tolak reklamasi Teluk Benoa. Selang beberapa saat setelah mengibarkan bendera dari arah kanannya ada polisi datang merampas bendera.

Beberapa menit setelah kejadian perampasan tersebut, Ia kembali mengeluarkan bendera baru dan mengibarkan bendera untuk kedua kalinya namun pengibaran juga dirampas oleh Polisi. “Ketika bendera sudah dirampas untuk kedua kalinya, saya buka baju saya, kebetulan baju yang saya pakai adalah baju Klungkung tolak reklamasi. Saya lepas baju saya itu dan saya kibarkan tapi dirampas lagi oleh Polisi, sampai akhirnya saya pulang tidak pakai baju,” tuturnya.

Arta Dwipa yang menjelaskan pengibaran bendera tolak reklamasi Teluk Benoa sebagai bentuk ekspresi untuk beraspirasi terhadap isu reklamasi Teluk Benoa karena kebetulan pada saat yang sama, Semarapura Festival dihadiri oleh Bupati Klungkung. Atas kejadian perampasan bendera tersebut, pihaknya langsung mencari polisi yang membawa bendera tolak reklamasi teluk benoa ke sebelah kanan panggung.

Menurut keterangan Polisi, perampasan bendera dilakukan karena tiang-tiang bendera berbahaya dan bisa melukai. Ia lantas meminta bendera tolak reklamasi Teluk Benoa dikembalikan tanpa tiangnya, namun pihak polisi menolak memberikan bendera tolak reklamasi Teluk Benoa tersebut. “Polisi yang merampas dan melarang pengibaran bendera tolak reklamasi Teluk Benoa di acara Semarapura Festival 2017 karena atas perintah atasan,” ujar Arta Dwipa.

Akibat insiden perampasan bendera tersebut, terjadi perdebatan antara Arta Dwipa dengan polisi yang merampas bendera sehingga orang-orang mengerumuninya. Menurtunya, 7 Bendera yang dirampas dan dibawa aparat sambil mengatakan bahwa bendera itu bisa dicari ke panitia setelah acara. Usai acara, 7 bendera tolak reklamasi Teluk Benoa yang bergambar logo ForBALI tersebut mereka ambil kembali. “2 baju bertuliskan Klungkung tolak reklamasi yang mereka rampas tidak dikembalikan” ujarnya.

Di dalam konferensi pers tersebut, Suriadi Darmoko Koordinator Divisi Politik ForBALI, menunjukkan sejumlah bukti berupa video dan foto saat insiden perampasan baju dan bendera tolak reklamasi Teluk Benoa di acara Semarapura Festival. ”Atas insiden tersebut, ForBALI secara resmi telah mengirimkan surat protes terbuka yang ditujukan kepada Kapolda Bali cq Kapolres Klungkung dan Bupati Klungkung serta ditembuskan kepada Komnas HAM,” ujarnya sembari memperlihatkan bukti pengiriman suratnya per tanggal 4 Mei 2017.

Menurutnya, pengiriman surat protes kepada Kapolres Klungkung dan Bupati Klungkung didasari atas fakta keterlibatan aktif pihak Kepolisian dalam membungkam gerakan tolak reklamasi Teluk Benoa dengan dalih mengamankan tiang bendera. Polisi di lapangan yang melarang dan merampas atribut tolak reklamasi Teluk Benoa berdasarkan perintah atasan. “Pernyataan bahwa tindakan tersebut dilakukan atas perintah atasan sebagaimana yang disampaikan oleh polisi lapangan mengindikasikan bahwa ada keterlibatan institusi Kepolisian di dalam perampasan baju dan bendera tolak reklamasi teluk benoa tersebut,” ujarnya.

Menurut Suriadi, kejadian tersebut bisa saja dicegah oleh pihak panitia penyelenggara acara yaitu Pemkab Klungkung, namun pencegahan itu menjadi mustahil ketika polisi memerintahkan para aktivis ForBALI Klungkung untuk mengambil benderanya bendera yang mereka rampas ke panitia. “Dugaan kami, telah ada koordinasi yang sudah berjalan antara Kepolisian dengan Pemkab Klungkung sehingga terjadi perampasan baju dan bendera tolak reklamasi tersebut. Menurut kami pemerintah Kabupaten Klungkung telah melakukan pembiaran terjadinya perampasan bendera dan baju tolak reklamasi teluk benoa tersebut,” ungkap Suriadi.

Foto Konferensi Pers 4 Mei 2017 (2)Dalam empat point tuntutan surat protes ForBALI yang disampaikan kepada Kapolres dan Bupati Klungkung, secara tegas mengecam tindakan pelarangan disertai dengan perampasan dan termasuk memprotes pembiaran terjadinya perampasan atribut tolak reklamasi Teluk Benoa. “Kami menuntut menuntut Kapolres Klungkung dan Bupati Klungkung untuk meminta maaf atas insiden pelarangan dan perampasan atribut tolak reklamasi Teluk Benoa oleh Kepolisian yang disertai dengan pembiaran oleh Pemerintah Kabupaten Klungkung karena tindakan tersebut merupakan pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi dan melanggar hak asasi manusia,” tuntutnya.

Sementara itu, Koordinator Tim hukum ForBALI, I Made Ariel Suardana selain mengirimkan surat protes, ForBALI juga meladeni tindakan Kepolisian, termasuk adanya unsur pembiaran dan keterlibatan panitia dari Pemkab Klungkung. “Kami ingin tau lebih dalam nanti melalui proses investigasi untuk mengetahui inisiatif siapa sesungguhnya yang memberikan perintah, apakah perintah itu muncul dari panitia cq Pemkab melalui bupatinya atau polisi sendiri yang memiliki inisiatif. Ini penting untuk kita ketahui sehingga keterlibatan kedua institusi ini menjadi jelas,” ujarnya.

“Jika tindakan permintaan maaf ini tidak dilakukan kami memastikan bahwa seluruh kejadian yang terjadi di Klungkung akan masuk pada proses hukum dengan melaporkan setiap orang yang berusaha menghalang-halangi, membatasi kebebasan berekspresi itu. Termasuk kami sudah pastikan akan melaporkan secara resmi sampai oknum Kepolisian termasuk institusinya Polres Klungkung secara berjenjang kepada Kapolda Bali, Kepada Kapolri, Propam Mabes Polri dan Kompolnas,” ujar Made Ariel.

Tim Hukum ForBALI menurutnya juga akan mengingatkan Komnas HAM terkait dengan rekomendasi Komnas HAM yang pernah terbit atas beberapa kejadian yang muncul. Pertama kejadian pelarangan pemakaian baju tolak reklamasi di Tabanan. Kedua pemukulan aktivis waktu pembukaan PKB. Selanjutnya, tindakan untuk menurunkan baliho secara paksa.

“Pembungkaman tersebut sampai hari ini masih terus terjadi secara massive dan selalu berdasarkan perintah. Karena itu kami mendorong kasus ini untuk dibawa ke Komnas HAM sehingga diharapkan rekomendasi yang tidak dilakukan oleh institusi dapat ditindaklanjuti melalui proses penyelidikan yang dilakukan secara khusus oleh Komnas HAM dengan harapan melahirkan proses hukum yaitu peradilan HAM,” pungkas Made Ariel.