November 13th, 2014 // ForBALI

Sikap BEM FEB UGM Terkait Reklamasi Teluk Benoa

SIKAP BEM FEB UGM TERKAIT REKLAMASI TELUK BENOA

Pulau Bali merupakan pulau yang kaya akan keindahan alam dan budayanya. Disamping itu, pulau yang dijuluki pulau penuh cinta ini pun menarik banyak orang untuk berkunjung dan menikmati pesonanya. Sudah cukup sering kita dengar bahwa Bali lebih dikenal (dibanding Indonesia sendiri) di mata internasional sebagai destinasi turis di Asia Tenggara. Ian Charles Stewart penulis buku“Indonesians Portraits from an Archipelago” mengungkapkan keindahan pulau ini dengan sebutan“Permata” di ujung timur pulau Jawa. Pulau ini pun mendapat sebutan “Green Island” sebagai pulau dimana lereng bukit bertingkat–tingkat dapat disaksikan oleh penglihatan.

Kesuksesan pariwisata Bali memang tidak dapat terlepas dari hakikat ajaran “Tri Hita Karana”. Paradigma masyarakat Bali ini menekankan tiga hubungan harmonis manusia dengan kehidupan di dunia ini. Ketigah ubungan itu adalah hubungan dengan sesama manusia, hubungan dengan alam sekitar dan hubungan dengan Tuhan. Tri Hita Karana merupakan falsafah hidup yang turun–temurun dipercaya oleh masyarakat Bali.Tak mengherankan jika sektor pariwisata Bali sangat mengandalkan budaya (keagungan Tuhan yang ditunjukan melalui budaya), alam yang asri, dan hubungan yang baik antar sesama (penduduk Bali yang dikenal ramah).

Teluk Benoa

Secara geografis Teluk Benoa yang terletak pulau Bali bagian selatan merupakan perairan luas yang memainkan peran penting dalam stabilitas ekosistem dan hidrologis. Disebelah barat teluk Benoa terdapat Tanjung Benoa yang berhadapan langsung dengan samudera. Disebelah selatannya terdapat semenanjung Jimbaran. Sedangkan di sebelah timurnya merupakan kawasan padat dan wisata, juga terdapat bandara Ngurah Rai. (lihat gambar 1) Teluk besar tersebut adalah Teluk Benoa, disekeliling teluk yang berwarna hijau merupakan hutan Mangrove terbesar di Bali. Luas hutan mangrove wilayah Bali Selatan sekitar 1.373,5 Hektar yang terdapat di Tanjung Benoa dan Pulau Serangan/Tahura (Taman Hutan Raya) Ngurah Rai.

teluk benoagambar 1 (Teluk Benoa dan mangrove disekitarnya)

Mengapa teluk Benoa begitu penting? Jawabannya karena teluk Benoa melindungi sekitar sepuluh desa dan kelurahan di Bali selatan dari ombak samudera. Peranan Hutan mangrove di Teluk Benoa adalah mencegah abrasi pantai, sebagai ruang terbuka hijau, dan sebagai pencegah rembesan air laut. Tanpa mangrove, warga di pesisir akan kesulitan memperoleh air tawar, karena air laut merembes melalui air tanah ke daratan. Selain itu, hutan mangrove juga mengubah mikroorganisme dan makroorganisme menjadi bioplankton sebagai makanan ikan. Bagi burung, hutan mangrove merupakan tempat yang disukai untuk bersarang dan bertelur karena tajuknya yang rapat dan rata (sumber: Mangrove Information Center). Walaupun teluk ini dangkal -bahkan ketika surut dasar teluk dapat terlihat- namun kawasan perairan Teluk Benoa menjadi tampungan air dari beberapa Daerah Aliran Sungai yang mengalir ke Teluk Benoa.

 

Peta-Sungai-di-Teluk-Benoa1Gambar 2 (peta daerah aliran sungai Teluk Benoa)

Teluk ini menjadi tampungan air yang mengurangi dampak banjir terhadap desa-kelurahan disekitarnya ketika air laut pasang atau ketika curah hujan tinggi dan meluapkan air sungai (lihat gambar 2). Selain menjadi tampungan pencegah banjir dan penahan ombak, di Teluk Benoa juga terdapat ekosistem laut yang sangat kaya. Mamalia laut Dugong (dugong dugon) pernah terlihat di perairan Teluk Benoa (sumber: RAP Buletin Kajian Biologi No 64, Kajian Cepat Kondisi Kelautan Provinsi Bali 2011, Denpasar, Bali, 2012). Bali termasuk kawasan dengan jumlah spesies tinggi dalam peta terumbu karang dunia (Bali, Indonesia ,termasuk dalam Segitiga Koral). Berdasarkan penelitian Wetland International, hutan mangrove dapat menurunkan gelombang laut sampai setengah meter setiap kilometer mangrove yang dilaluinya (lihat hasil penelitian Wetland). Hutan mangrove juga terbukti 4 kali lebih baik dalam penyerapan emisi Gas Rumah Kaca dibanding hutan tropis. Namun luasnya yang relatif lebih kecil dibanding hutan tropis (hanya 0,7 % dari luas hutan tropis dunia), sehingga potensi mangrove sangat perlu dikembangkan sebagai sumber blue carbon (lihat Final Report APRU terkait potensi mangrove sebagai blue carbon untuk blue economy). Dengan demikian, kehandalan hutan mangrove dalam kontribusinya terhadap lingkungan tidak perlu dipertanyakan lagi. Sampai penjelasan ini telah dipahami bahwa mangrove pada Teluk Benoa adalah aset penting bagi masyarakat Bali, dan juga bagi Indonesia.

 

Mega Proyek Teluk Benoa

Isu Teluk Benoa akan direklamasi mulai santer terdengar ketika Gubernur Bali mengeluarkan SK Gubernur Bali Nomor 213802-CLHK2012 yang berisi perizinan bagi perusahaan properti PT Tirta Wahana Bali International (PT. TWBI) untuk melakukan pemanfaatan wilayah Teluk Benoa dengan cara reklamasi. Karena dianggap bertentangan dengan peraturan perudang – undangan, SK tersebut akhirnya diprotes. Gubernur Bali kemudian mengeluarkan SK Gubernur Bali Nomor 172701-BHK2013 yang merupakan pembatalan SK sebelumnya dan mensyaratkan agar PT TWBI melakukan studi kelayakan. Namun beberapa pihak mencurigai bahwa SK yang diterbitkan itu tidak hanya izin studi kelayakan melainkan merupakan izin reklamasi. Lihat Peraturan Presiden No 122 Tahun 2012 Bab III tentang Perizinan Reklamasi, pada pasal 17 ayat (5) disebutkan:

Setiap pemegang izin lokasi dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) tahun wajib menyusun:

a. Rencana induk,

b. Studi kelayakan,

c. rancangan detail reklamasi.

Alhasil berbagai elemen masyarakat Bali ramai – ramai menyuarakan untuk melindungi Teluk Benoa dari kerusakan karena reklamasi.

Berdasarkan Peraturan Presiden nomor 45 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan, pada pasal 55 ayat 5 huruf b disebutkan:

“Kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri atas: b. kawasan konservasi perairan, di perairan kawasan Sanur di kecamatan Denpasar, Kota Denpasar, perairan kawasan Teluk Benoa sebagian di Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar dan sebagian di Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung dan perairan kawasan Kuta di Kecamatan Kuta Kabupaten Badung”.

Kawasan konservasi perairan tidak boleh dilakukan pemanfaatan apapun yang dapat merubah atau menurunkan kualitas kawasan tersebut. Peraturan Presiden No 122 Tahun 2012, Bab I ketentuan Umum Pasal 2 ayat (3) juga menyebutkan:

“Reklamasi tidak dapat dilakukan pada kawasan konservasi dan alur laut”

Pada Undang – Undang No 27 Tahun 2007 juga disebutkan bahwa konservasi wilayah pesisir merupakan upaya yang dilakukan pada kawasan konservasi untuk meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya. Undang – undang ini jangan sampai disalahartikan. Sekalipun konservasi wilayah pesisir merupakan usaha untuk perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan wilayah dengan syarat tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya, apakah reklamasi termasuk usaha tersebut? Jelas tidak. Mengapa? Reklamasi yang disebutkan dalam Peraturan Presiden No 122 tahun 2012 tersebut secara terang menyebutkan upaya pengerukan, pengeringan, dan penimbunan lahan. Konservasi untuk melindungi kekayaan hayati laut dan pantai tidak pernah dilakukan dengan cara demikian. Melakukan reklamasi seperti itu malah menyebabkan hal sebaliknya yaitu rusak dan hancurnya ekosistem yang ada. Berdasarkan informasi yang dihimpun dari Mongabay.co.id, cara – cara yang bisa dilakukan adalah melestarikan mangrove seperti menambah populasi mangrove. Ada juga teknik pelestarian mangrove dengan metode Ecological Mangrove Restoration (EMR) yang baru diterapkan di Dusun Kurricaddi, Desa Nisombalia, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Penjelasan ini penting untuk menghindari kesalahan informasi pada masyarakat. Jangan sampai dikatakan salah memilih istilah, jika tidak mau dikatakan melakukan pembohongan publik. Istilah pada kegiatan Reklamasi, Revitalisasi, Revegetasi, Reboisasi, Rehabilitasi, memiliki arti dan penerapan (praktik) yang berbeda – beda.

Lalu apa sebenarnya reklamasi itu? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, reklamasi merupakan usaha pengerukan (tanah). Hasil lahan yang di reklamasi menjadi bermacam – macam. Masih menurut KBBI, lahan hasil reklamasi bisa digunakan sebagai lahan pertanian. Biasanya yang direklamasi adalah lahan yang sudah rusak akibat pertambangan, sehingga lahan rusak tadi diupayakan kembali produktif (lihat Forum Reklamasi Hutan pada Lahan Bekas Tambang). Bila reklamasi dilakukan di laut, maka diartikan sebagai upaya pembuatan daratan baru di laut. Sebagai contoh nyatanya adalah Sentosa Island di Singapura, atau Palm Island di Dubai. Mengacu pada Peraturan Presiden No 122 Tahun 2012, reklamasi diartikan sebagai usaha pengerukan dan pengeringan dengan sistem drainase. Jadi, reklamasi pantai berarti pengeringan pantai, lalu pantai kering tersebut akan ditimbun tanah dan dijadikan daratan baru, hasilnya adalah daratan ekstensi dari pantai tersebut. Setelah terbentuk daratan baru, dapat dibangun bermacam – macam hal diatasnya sesuai keinginan. Namun pantai yang di reklamasi tentu akan menghilangkan unsur dari pantai tersebut, dalam konteks Teluk Benoa, hutan mangrovelah yang dipastikan terganggu keberadaannya. Padahal Mangrove di Teluk Benoa diharapkan peningkatannya, jika sudah terhalang bangunan – bangunan, maka mustahil bagi hutan mangrove untuk berkembang (meluas).

PT. Tirta Wahana Bali International (PT TWBI) berniat melakukan reklamasi pada kawasan konservasi Teluk Benoa. Meskipun status kawasan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi sebenarnya tidak boleh diganggu gugat, PT. TWBI tetap merasa perlu untuk menguji kembali kelayakan wilayah konservasi Teluk Benoa untuk di reklamasi. Ganjil rasanya suatu kawasan konservasi diajukan studi kelayakan untuk dinilai apakah wilayah tersebut layak dimanfaatkan, dikembangkan, atau tidak. Padahal dengan dua opsi hasil studi pun, reklamasi Teluk Benoa tetap tidak boleh dilaksanakan. Pertama, bila hasil studi menyatakan Layak, maka tetap tidak boleh dilakukan Reklamasi (ingat kembali definisi reklamasi diatas), karena berakibat rusaknya ekosistem yang ada. Kedua, bila hasil studi menyatakan Tidak Layak, jelas jawabannya. PT. TWBI berkilah bahwa tujuan reklamasi adalah memperbaiki kawasan Teluk Benoa yang menurutnya merupakan kawasan yang mangrovenya rusak dan kawasan tidak produktif. Jika menggunakan argumen – argumen ekonomi, lahan produktif memang sebaiknya digunakan agar produktif secara ekonomi dan memberi nilai tambah (value added). Namun persoalan Teluk Benoa bukan sebatas perihal ekonomi, tapi juga lingkungan, sosial, dan budaya. Sampai penjelasan ini telah dipahami bahwa upaya reklamasi tidak dapat dan tidak boleh dilakukan di Teluk Benoa karena melanggar peraturan dan menyampingkan aspek lingkungan, sosial, budaya.

 

Layak tidak layak menurut Universitas

Untuk menjawab kelayakan yang dipertanyakan PT. TWBI, maka diperlukanlah kajian akademis. Universitas Udayana ditunjuk oleh PT. TWBI sebagai penguji kelayakan melalui LPPM (Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat) Universitas Udayana. Pada 12 September 2012 dibuat MoU studi kelayakan antara PT TWBI dengan Universitas Udayana. Setelah melakukan ‘Studi Kelayakan Revitalisasi Teluk Benoa’, Tim Feasibility Study dari LPPM Universitas Udayana yang diketuai Ida Bagus Putu Adnyana., ST., MT telah melakukan beberapa kali presentasi hasil penelitian tim. Pertama pada 12 November dan 14 Desember 2012 dihadapan BAPPEDA Bali, 3 Agustus 2013 dalam dialog terbuka dengan Gubernur Bali. Hasil studi tersebut nampaknya tidak dipublikasi oleh tim LPPM dan pihak Universitas Udayana sendiri, namun pada 20 Agustus 2013 Rapat koordinasi tim pengulas studi kelayakan oleh LPPM UNUD menyatakan reklamasi “Tidak layak”. 2 September 2013 kembali dalam Rapat Senat Universitas Udayana menyatakan reklamasi “Tidak Layak. Diskusi Publik mengenai Teluk Benoa, perwakilan dari LPPM Unud juga menyatakan reklamasi “Tidak Layak”. Ketidaklayakan reklamasi diperkuat lagi pada 20 September 2013 oleh Prof. Ketut Satriyawan selaku ketua LPPM Unud, dan ditambah pernyataan resmi Universitas Udayana yang menyatakan reklamasi “Tidak Layak”. Namun sampai saat ini di website resmi http://lppm.unud.ac.id/belum ada publikasi atau arsip hasil studi kelayakan. Padahal hasil studi tersebut penting untuk pengetahuan dan informasi masyarakat luas yang membutuhkan kajian akademis terkait reklamasi Teluk Benoa. Namun ketetapan Universitas Udayana yang menyatakan reklamasi tidak layak dilakukan cukup menenangkan semua pihak yang menolak reklamasi. Paling tidak ini menjadi keyakinan bahwa reklamasi memang layak ditolak, karena secara akademis pun sudah dinyatakan demikian.

Seharusnya sampai disini sudah jelas bahwa Reklamasi Teluk Benoa tidak boleh dilakukan sama sekali. Segala bentuk izin yang dikeluarkan oleh Gubernur Mangku Pastika selayaknya dicabut. Izin tersebut antara lain berupa SK Gubernur Bali Nomor 2138/02-CL/HK/2012 (telah dicabut pada 16 Agustus 2013 atas desakan berbagai pihak) dan SK Gubernur Bali Nomor 1727/01-B//HK/2013. SK kedua Gubernur Bali ini pun layak dicabut juga karena kawasan perairan Teluk Benoa sudah jelas merupakan kawasan konservasi yang harus dilindungi. Tidak ada lagi alasan untuk menguji kelayakan pemanfaatan, pengembangan, dan pengelolaan. Setelah gugurnya SK Gubernur Bali yang pertama dan menunggu digugurkannya SK Gubernur Bali yang kedua, diterbitkan pula Peraturan Meteri Kelautan dan Perikanan No 17 Tahun 2013. Permen ini keluar sebagai pengaturan lebih lanjut pasal 21 dan 28 pada Peraturan Pemerintah No 122 Tahun 2012 perihal reklamasi. Selanjutnya ketika polemik makin berkembang, presiden SBY malah mengeluarkan Peraturan Presiden No 51 Tahun 2014 yang juga mengizinkan reklamasi Teluk Benoa. Karena Peraturan Presiden lebih tinggi dibanding Peraturan Meteri, maka yang perlu dibatalkan adalah Peraturan Presiden No 51 Tahun 2014. Tujuannya untuk memulihkan kekuatan hukum Peraturan Presiden No 45 Tahun 2011 dan mengembalikan Pasal 55 ayat (5) yang menyatakan perairan Teluk Benoa merupakan Kawasan Konservasi dan membatalkan kawasan Perairan Teluk Benoa sebagai kawasan budi daya; (P) Penyangga (zona pemanfaatan umum).

 

Peraturan Presiden mendukung Reklamasi

Peraturan Presiden No 51 Tahun 2014 yang dikeluarkan presiden SBY pada 30 Mei 2014. Isi dari PP No 51 tahun 2014 adalah perubahan beberapa ayat pada PP No 45 tahun 2011. Beberapa hal yang diubah antara lain:

  1. Penghilangan keterangan luas wilayah hektar Taman Hutan Raya Ngurah Rai (1.375 hektar) pada pasal 55 ayat (3) huruf a,
  2. Penghilangan perairan kawasan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi pada pasal 55 ayat (5) huruf b,
  3. Penambahan Zona Penyangga (P) pada pasal 56,
  4. Penambahan Pasal 63A:Ayat (1) Zona P sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 merupakan zona perairan pesisir dengan karakteristik kawasan teluk yang berhadapan dengan Zona L3, Zona B1, Zona B2, dan Zona B3 di Kawasan Teluk Benoa, yang menjaga fungsi Zona L3, Zona B1, Zona B2, dan Zona B3 sebagai kawasan pemanfaatan umum yang potensial untuk kegiatan kelautan, perikanan, kepelabuhanan, transportasi, pariwisata, pengembangan ekonomi, permukiman, sosial budaya, dan agama.Ayat (2) Zona P sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan di perairan pesisir Teluk Benoa yang berada di sebagian Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar dan sebagian Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung.

    Ayat (3) Zona P yang berdasarkan ketentuan perundang-undangan di bidang kehutanan masih ditetapkan sebagai Taman Hutan Raya Ngurah Rai, selanjutnya disebut L3/P di sebagian Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, termasuk Pulau Pudut.

    Ayat (4) Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,

  1. Penambahan huruf h yaitu “arahan Peraturan zonasi untuk Zona P” pada pasal 81 ayat (3)
  2. Penambahan pasal 101A:Arahan peraturan zonasi untuk Zona P sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (3) huruf h terdiri atas:a. kegiatan yang diperbolehkan meliputi kegiatan perlindungan dan pelestarian fungsi Taman Hutan Raya dan ekosistem mangrove, kelautan, perikanan, kepelabuhanan, transportasi, pariwisata, pengembangan ekonomi, permukiman, sosial budaya, dan agama;

    b. kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat meliputi kegiatan selain sebagaimana dimaksud pada huruf a yang tidak mengganggu fungsi Zona P;

    c. kegiatan yang tidak diperbolehkan meliputi kegiatan untuk tempat pembuangan limbah dan kegiatan yang mengganggu fungsi Zona P;

    d. Penerapan ketentuan di Zona P meliputi:

    1). kegiatan dalam Zona P yang berhadapan dengan Zona L3 dilakukan dengan menjaga fungsi Taman Hutan Raya Ngurah Rai dan ekosistem mangrove serta pendalaman bagian-bagian tertentu dari Teluk;

    2). penyediaan aksesibilitas di dalam kawasan teluk, termasuk ketersediaan alur pelayaran;

    3). pemanfaatan ruang dengan tidak mengganggu keberlanjutan fungsi sistem Daerah Aliran Sungai;

    4). pemanfaatan ruang dilakukan sekurang-kurangnya berjarak 100 (seratus) meter dari Zona L3;

    5). pemanfaatan ruang dengan memperhatikan rencana induk pengembangan Pelabuhan Internasional Benoa, Bandar Udara Internasional Ngurah Rai, Jalan Bebas Hambatan Serangan-Benoa-Bandar Udara Ngurah Rai-Nusa Dua-Tanjung Benoa, dan fungsi jaringan energi;

    6). kegiatan sebagaimana dimaksud huruf a dan b dapat dilakukan melalui kegiatan revitalisasi termasuk penyelenggaraan reklamasi paling luas 700 (tujuh ratus) hektar dari Kawasan Teluk Benoa; dan

    7). pemanfaatan ruang untuk mitigasi bencana,

    e. kegiatan sebagaimana dimaksud huruf d angka 6 melalui penyelenggaraan reklamasi dilakukan dengan:

    1). penyediaan ruang terbuka hijau paling kurang 40% dari total luasan pulau hasil reklamasi;

    2). penerapan ketentuan tata bangunan dan lingkungan yang meliputi ketentuan KDB, KLB, KDH, KTB, ketinggian bangunan, dan GSB terhadap jalan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;

    3). pengembangan sentra ekonomi berbasis lingkungan dan budaya Bali;

    4). pengaturan tata letak, bentuk, dan luasan, ditentukan berdasarkan hasil kajian kelayakan lingkungan;

    5). aksesibilitas di dalam kawasan teluk, termasuk ketersediaan alur pelayaran dan alur aliran air antar pulau hasil reklamasi dengan memperhatikan karakteristik lingkungan, kedalaman paling kurang 2 (dua) meter dari titik surut terendah;

    6). perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang untuk kegiatan reklamasi dalam Zona P dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  1. Penambahan pasal 120 A:Ayat (1) Dalam Zona P dapat dikembangkan sistem pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana: jaringan transportasi, energi, telekomunikasi, sumber daya air, dan prasarana perkotaan guna mendukung pengembangan dan fungsi Zona P yang ditetapkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.Ayat (2) Sistem jaringan prasarana: jaringan transportasi, energi, telekomunikasi, sumber daya air, dan prasarana perkotaan dapat dikembangkan di Kawasan Perkotaan Sarbagita guna mendukung pengembangan dan fungsi Zona P yang ditetapkan sesuai ketentuan peraturan perundang undangan.

    Ayat (3) Pengembangan sistem permukiman dan sistem jaringan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengembangan sistem jaringan prasarana ayat (2) dikoordinasikan oleh Menteri.

  1. Perubahan pasal 122 ayat (2) menjadi: (2) Sepanjang rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana rinci tata ruang berikut peraturan zonasi termasuk rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil provinsi dan kabupaten/kota di Kawasan Perkotaan Sarbagita belum ditetapkan dan/atau disesuaikan dengan Peraturan Presiden ini, digunakan rencana tata ruang Kawasan Perkotaan Sarbagita sebagai acuan pemberian izin pemanfaatan ruang.
  2. Perubahan gambar lampiran (sumber: www.forbali.org)bali2-PERBADINGAN-PETA-PERPRES-45_2011-DENGAN-PEPRES-51_2014

 

 

Apa dampak dari terbitnya Peraturan Presiden No 51 tahun 2014 ini?

Jantung masalah dalam PP ini adalah (salah satunya) pasal 101A, huruf (d) angka 6. Pada bagian itu disebutkan “kegiatan sebagaimana dimaksud huruf a dan b dapat dilakukan melalui kegiatan revitalisasi termasuk penyelenggaraan reklamasi paling luas 700 (tujuh ratus) hektar dari Kawasan Teluk Benoa”. (Huruf tebal; penulis) ini mengingatkan kita kembali pada miskonsepsi terhadap upaya perlindungan ekosistem Teluk Benoa. Tidak hanya secara terang – terangan mengizinkan reklamasi seluas 700 hektar pada Teluk Benoa, namun kalimat tersebut merupakan upaya pelolosan reklamasi Teluk Benoa. Kalimat tersebut menggunakan kata ‘revitalisasi’ sebagai alasan melakukan ‘reklamasi’. Apakah yang dimaksud ‘revitalisasi’ dalam peraturan tersebut seperti definisi pada KBBI yang berbunyi ‘proses, cara, perbuatan menghidupkan atau menggiatkan kembali’?. Jika re-vital-isasi yang berarti menghidupkan kembali (berarti sesuatu yang telah mati), maka Teluk Benoa bukanlah ‘sesuatu’ yang telah mati. Justru sebaliknya, Teluk Benoa adalah kehidupan. Kehidupan bagi banyak hal. Kehidupan bagi nelayan, bagi warga sekitar Teluk Benoa, warga Benoa, bahkan ekosistem biotik yang terdiri dari vegetasi seperti mangrove serta hewan-hewan yang menempatinya. Kenyataan yang akan terjadi malah sebaliknya bila reklamasi dilakukan pada Teluk Benoa yang hidup. Reklamasi yang dilakukan merupakan pengerukan kehidupan yang nyata tersebut, pengeringan laut yang berisi kehidupan yang nyata, dan penimbunan pada kehidupan warga sekitar Teluk Benoa (kata tebal merupakan kata pada undang – undang yang menjadi acuan rencana reklamasi)

Lalu apa sebenarnya tujuan dikeluarkan Peraturan Presiden No 51 tahun 2014 ini? Selain jelas bahwa peraturan ini mengizinkan reklamasi Teluk Benoa, nampak bahwa peraturan ini merupakan landasan bagi berdirinya mega proyek yang direncanakan PT. TWBI. Dugaan skenario yang sangat mungkin dilakukan karena banyaknya kemiripan dan kesesuaian antara isi Peraturan Presiden dengan tujuan reklamasi.

  1.  Syarat berdirinya mega proyek tersebut diatas Teluk Benoa, maka posisi Teluk Benoa sebagai wilayah konservasi harus dihilangkan terlebih dahulu (lihat pasal 55 ayat (5) huruf b).
  2. Lokasi berdirinya mega kompleks adalah pada zona penyangga (P). Zona ini seperti sengaja diciptakan untuk mengakomodir lokasi proyek (lihat pasal 63A, Zona P dapat digunakan untuk ‘…kawasan pemanfaatan umum yang potensial untuk kegiatan kelautan, perikanan, kepelabuhanan, transportasi, pariwisata, pengembangan ekonomi, permukiman, sosial budaya, dan agama’). Isu yang beredar adalah mega proyek tersebut memang akan membangun kawasan yang terdiri dari pelabuhan tempat Yacht bersandar, Hotel, Apartemen, tempat ibadah, tempat pagelaran kesenian, bahkan taman wisata sekelas DisneyLand.
  3. Rencana mega proyek mengembangkan sistem jaringan prasarananya seperti transportasi, energi, telekomunikasi, sumber daya air, dan prasarana perkotaan lainnya {lihat pasal 120 ayat (1)}. Dugaan penciptaan kota diatas Perairan Benoa makin jelas.
  4. Wilayah Sarbagita pun akan dikembangkan prasarananya untuk mendukung mega kompleks ini {lihat pasal 120 ayat (2)}. Hal ini akan semakin membebankan Sarbagita karena dijadikan penyokong mega kompleks tersebut. Kedua pengadaan prasarana tersebut direncanakan disediakan peraturan perundang – undangan pendukung dan dikordinasikan oleh menteri.

 

 

Sikap BEM FEB UGM terkait ReklamasiTelukBenoa

Setelah melalui usaha pengumpulan informasi, fakta, data dan meneliti kejanggalan – kejanggalan mega proyek reklamasi Teluk Benoa, disertai juga usaha dalam memaparkan informasi tersebut, kami memutuskan untuk MENOLAK REKLAMASI TELUK BENOA. BEM FEB UGM juga menuntut agar presiden SBY mencabut Peraturan Presiden No 51 Tahun 2014. Tuntutan juga berlaku kepada presiden terpilih Joko Widodo untuk mencabut Peraturan Presiden No 51 Tahun 2014 bila telah memasuki masa jabatan dan presiden SBY tidak juga mencabut PP tersebut. Kami juga menuntut agar presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghentikan segala proses perizinan reklamasi Teluk benoa. Tuntuan penghentian pemberian izin reklamasi Teluk Benoa juga berlaku bagi presiden terpilih Joko Widodo bila telah memasuki masa jabatan namun perizinan tersebut masih berlangsung.

Implikasi Peraturan Presiden No 51 Tahun 2014 dicabut, maka tidak ada perubahan pada Peraturan Presiden No 45 Tahun 2011. Teluk Benoa tetap menjadi kawasan konservasi, hilangnya zona penyangga (P), dan perairan Teluk Benoa tetap termasuk zona L3 (zona lindung 3 merupakan kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan kawasan cagar budaya). Selain pencabutan Peraturan Presiden No 51 Tahun 2014, kami menuntut agar pemerintah menerbitkan undang – undang baru tersendiri tentang kawasan konservasi, kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan kawasan cagar budaya. penyusunan undang – undang baru tersebut juga harus mengikutsertakan stakeholder secara menyeluruh (masyarakat, akademisi, dan kelompok pecinta lingkungan). Hal ini untuk memastikan bahwa kawasan – kawasan tersebut dijamin perlindungannya oleh undang – undang dan memiliki kekuatan hukum yang pasti.

sumber: http://bem.feb.ugm.ac.id/tolak-reklamasi-teluk-benoa/

 

SIKAP BEM FEB UGM TERKAIT REKLAMASI TELUK BENOA

Pulau Bali merupakan pulau yang kaya akan keindahan alam dan budayanya. Disamping itu, pulau yang dijuluki pulau penuh cinta ini pun menarik banyak orang untuk berkunjung dan menikmati pesonanya. Sudah cukup sering kita dengar bahwa Bali lebih dikenal (dibanding Indonesia sendiri) di mata internasional sebagai destinasi turis di Asia Tenggara. Ian Charles Stewart penulis buku“Indonesians Portraits from an Archipelago” mengungkapkan keindahan pulau ini dengan sebutan“Permata” di ujung timur pulau Jawa. Pulau ini pun mendapat sebutan “Green Island” sebagai pulau dimana lereng bukit bertingkat–tingkat dapat disaksikan oleh penglihatan.

Kesuksesan pariwisata Bali memang tidak dapat terlepas dari hakikat ajaran “Tri Hita Karana”. Paradigma masyarakat Bali ini menekankan tiga hubungan harmonis manusia dengan kehidupan di dunia ini. Ketigah ubungan itu adalah hubungan dengan sesama manusia, hubungan dengan alam sekitar dan hubungan dengan Tuhan. Tri Hita Karana merupakan falsafah hidup yang turun–temurun dipercaya oleh masyarakat Bali.Tak mengherankan jika sektor pariwisata Bali sangat mengandalkan budaya (keagungan Tuhan yang ditunjukan melalui budaya), alam yang asri, dan hubungan yang baik antar sesama (penduduk Bali yang dikenal ramah).

Teluk Benoa

Secara geografis Teluk Benoa yang terletak pulau Bali bagian selatan merupakan perairan luas yang memainkan peran penting dalam stabilitas ekosistem dan hidrologis. Disebelah barat teluk Benoa terdapat Tanjung Benoa yang berhadapan langsung dengan samudera. Disebelah selatannya terdapat semenanjung Jimbaran. Sedangkan di sebelah timurnya merupakan kawasan padat dan wisata, juga terdapat bandara Ngurah Rai. (lihat gambar 1) Teluk besar tersebut adalah Teluk Benoa, disekeliling teluk yang berwarna hijau merupakan hutan Mangrove terbesar di Bali. Luas hutan mangrove wilayah Bali Selatan sekitar 1.373,5 Hektar yang terdapat di Tanjung Benoa dan Pulau Serangan/Tahura (Taman Hutan Raya) Ngurah Rai.

teluk benoagambar 1 (Teluk Benoa dan mangrove disekitarnya)

Mengapa teluk Benoa begitu penting? Jawabannya karena teluk Benoa melindungi sekitar sepuluh desa dan kelurahan di Bali selatan dari ombak samudera. Peranan Hutan mangrove di Teluk Benoa adalah mencegah abrasi pantai, sebagai ruang terbuka hijau, dan sebagai pencegah rembesan air laut. Tanpa mangrove, warga di pesisir akan kesulitan memperoleh air tawar, karena air laut merembes melalui air tanah ke daratan. Selain itu, hutan mangrove juga mengubah mikroorganisme dan makroorganisme menjadi bioplankton sebagai makanan ikan. Bagi burung, hutan mangrove merupakan tempat yang disukai untuk bersarang dan bertelur karena tajuknya yang rapat dan rata (sumber: Mangrove Information Center). Walaupun teluk ini dangkal -bahkan ketika surut dasar teluk dapat terlihat- namun kawasan perairan Teluk Benoa menjadi tampungan air dari beberapa Daerah Aliran Sungai yang mengalir ke Teluk Benoa.

 

Peta-Sungai-di-Teluk-Benoa1Gambar 2 (peta daerah aliran sungai Teluk Benoa)

Teluk ini menjadi tampungan air yang mengurangi dampak banjir terhadap desa-kelurahan disekitarnya ketika air laut pasang atau ketika curah hujan tinggi dan meluapkan air sungai (lihat gambar 2). Selain menjadi tampungan pencegah banjir dan penahan ombak, di Teluk Benoa juga terdapat ekosistem laut yang sangat kaya. Mamalia laut Dugong (dugong dugon) pernah terlihat di perairan Teluk Benoa (sumber: RAP Buletin Kajian Biologi No 64, Kajian Cepat Kondisi Kelautan Provinsi Bali 2011, Denpasar, Bali, 2012). Bali termasuk kawasan dengan jumlah spesies tinggi dalam peta terumbu karang dunia (Bali, Indonesia ,termasuk dalam Segitiga Koral). Berdasarkan penelitian Wetland International, hutan mangrove dapat menurunkan gelombang laut sampai setengah meter setiap kilometer mangrove yang dilaluinya (lihat hasil penelitian Wetland). Hutan mangrove juga terbukti 4 kali lebih baik dalam penyerapan emisi Gas Rumah Kaca dibanding hutan tropis. Namun luasnya yang relatif lebih kecil dibanding hutan tropis (hanya 0,7 % dari luas hutan tropis dunia), sehingga potensi mangrove sangat perlu dikembangkan sebagai sumber blue carbon (lihat Final Report APRU terkait potensi mangrove sebagai blue carbon untuk blue economy). Dengan demikian, kehandalan hutan mangrove dalam kontribusinya terhadap lingkungan tidak perlu dipertanyakan lagi. Sampai penjelasan ini telah dipahami bahwa mangrove pada Teluk Benoa adalah aset penting bagi masyarakat Bali, dan juga bagi Indonesia.

 

Mega Proyek Teluk Benoa

Isu Teluk Benoa akan direklamasi mulai santer terdengar ketika Gubernur Bali mengeluarkan SK Gubernur Bali Nomor 213802-CLHK2012 yang berisi perizinan bagi perusahaan properti PT Tirta Wahana Bali International (PT. TWBI) untuk melakukan pemanfaatan wilayah Teluk Benoa dengan cara reklamasi. Karena dianggap bertentangan dengan peraturan perudang – undangan, SK tersebut akhirnya diprotes. Gubernur Bali kemudian mengeluarkan SK Gubernur Bali Nomor 172701-BHK2013 yang merupakan pembatalan SK sebelumnya dan mensyaratkan agar PT TWBI melakukan studi kelayakan. Namun beberapa pihak mencurigai bahwa SK yang diterbitkan itu tidak hanya izin studi kelayakan melainkan merupakan izin reklamasi. Lihat Peraturan Presiden No 122 Tahun 2012 Bab III tentang Perizinan Reklamasi, pada pasal 17 ayat (5) disebutkan:

Setiap pemegang izin lokasi dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) tahun wajib menyusun:

a. Rencana induk,

b. Studi kelayakan,

c. rancangan detail reklamasi.

Alhasil berbagai elemen masyarakat Bali ramai – ramai menyuarakan untuk melindungi Teluk Benoa dari kerusakan karena reklamasi.

Berdasarkan Peraturan Presiden nomor 45 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan, pada pasal 55 ayat 5 huruf b disebutkan:

“Kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri atas: b. kawasan konservasi perairan, di perairan kawasan Sanur di kecamatan Denpasar, Kota Denpasar, perairan kawasan Teluk Benoa sebagian di Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar dan sebagian di Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung dan perairan kawasan Kuta di Kecamatan Kuta Kabupaten Badung”.

Kawasan konservasi perairan tidak boleh dilakukan pemanfaatan apapun yang dapat merubah atau menurunkan kualitas kawasan tersebut. Peraturan Presiden No 122 Tahun 2012, Bab I ketentuan Umum Pasal 2 ayat (3) juga menyebutkan:

“Reklamasi tidak dapat dilakukan pada kawasan konservasi dan alur laut”

Pada Undang – Undang No 27 Tahun 2007 juga disebutkan bahwa konservasi wilayah pesisir merupakan upaya yang dilakukan pada kawasan konservasi untuk meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya. Undang – undang ini jangan sampai disalahartikan. Sekalipun konservasi wilayah pesisir merupakan usaha untuk perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan wilayah dengan syarat tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya, apakah reklamasi termasuk usaha tersebut? Jelas tidak. Mengapa? Reklamasi yang disebutkan dalam Peraturan Presiden No 122 tahun 2012 tersebut secara terang menyebutkan upaya pengerukan, pengeringan, dan penimbunan lahan. Konservasi untuk melindungi kekayaan hayati laut dan pantai tidak pernah dilakukan dengan cara demikian. Melakukan reklamasi seperti itu malah menyebabkan hal sebaliknya yaitu rusak dan hancurnya ekosistem yang ada. Berdasarkan informasi yang dihimpun dari Mongabay.co.id, cara – cara yang bisa dilakukan adalah melestarikan mangrove seperti menambah populasi mangrove. Ada juga teknik pelestarian mangrove dengan metode Ecological Mangrove Restoration (EMR) yang baru diterapkan di Dusun Kurricaddi, Desa Nisombalia, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Penjelasan ini penting untuk menghindari kesalahan informasi pada masyarakat. Jangan sampai dikatakan salah memilih istilah, jika tidak mau dikatakan melakukan pembohongan publik. Istilah pada kegiatan Reklamasi, Revitalisasi, Revegetasi, Reboisasi, Rehabilitasi, memiliki arti dan penerapan (praktik) yang berbeda – beda.

Lalu apa sebenarnya reklamasi itu? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, reklamasi merupakan usaha pengerukan (tanah). Hasil lahan yang di reklamasi menjadi bermacam – macam. Masih menurut KBBI, lahan hasil reklamasi bisa digunakan sebagai lahan pertanian. Biasanya yang direklamasi adalah lahan yang sudah rusak akibat pertambangan, sehingga lahan rusak tadi diupayakan kembali produktif (lihat Forum Reklamasi Hutan pada Lahan Bekas Tambang). Bila reklamasi dilakukan di laut, maka diartikan sebagai upaya pembuatan daratan baru di laut. Sebagai contoh nyatanya adalah Sentosa Island di Singapura, atau Palm Island di Dubai. Mengacu pada Peraturan Presiden No 122 Tahun 2012, reklamasi diartikan sebagai usaha pengerukan dan pengeringan dengan sistem drainase. Jadi, reklamasi pantai berarti pengeringan pantai, lalu pantai kering tersebut akan ditimbun tanah dan dijadikan daratan baru, hasilnya adalah daratan ekstensi dari pantai tersebut. Setelah terbentuk daratan baru, dapat dibangun bermacam – macam hal diatasnya sesuai keinginan. Namun pantai yang di reklamasi tentu akan menghilangkan unsur dari pantai tersebut, dalam konteks Teluk Benoa, hutan mangrovelah yang dipastikan terganggu keberadaannya. Padahal Mangrove di Teluk Benoa diharapkan peningkatannya, jika sudah terhalang bangunan – bangunan, maka mustahil bagi hutan mangrove untuk berkembang (meluas).

PT. Tirta Wahana Bali International (PT TWBI) berniat melakukan reklamasi pada kawasan konservasi Teluk Benoa. Meskipun status kawasan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi sebenarnya tidak boleh diganggu gugat, PT. TWBI tetap merasa perlu untuk menguji kembali kelayakan wilayah konservasi Teluk Benoa untuk di reklamasi. Ganjil rasanya suatu kawasan konservasi diajukan studi kelayakan untuk dinilai apakah wilayah tersebut layak dimanfaatkan, dikembangkan, atau tidak. Padahal dengan dua opsi hasil studi pun, reklamasi Teluk Benoa tetap tidak boleh dilaksanakan. Pertama, bila hasil studi menyatakan Layak, maka tetap tidak boleh dilakukan Reklamasi (ingat kembali definisi reklamasi diatas), karena berakibat rusaknya ekosistem yang ada. Kedua, bila hasil studi menyatakan Tidak Layak, jelas jawabannya. PT. TWBI berkilah bahwa tujuan reklamasi adalah memperbaiki kawasan Teluk Benoa yang menurutnya merupakan kawasan yang mangrovenya rusak dan kawasan tidak produktif. Jika menggunakan argumen – argumen ekonomi, lahan produktif memang sebaiknya digunakan agar produktif secara ekonomi dan memberi nilai tambah (value added). Namun persoalan Teluk Benoa bukan sebatas perihal ekonomi, tapi juga lingkungan, sosial, dan budaya. Sampai penjelasan ini telah dipahami bahwa upaya reklamasi tidak dapat dan tidak boleh dilakukan di Teluk Benoa karena melanggar peraturan dan menyampingkan aspek lingkungan, sosial, budaya.

 

Layak tidak layak menurut Universitas

Untuk menjawab kelayakan yang dipertanyakan PT. TWBI, maka diperlukanlah kajian akademis. Universitas Udayana ditunjuk oleh PT. TWBI sebagai penguji kelayakan melalui LPPM (Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat) Universitas Udayana. Pada 12 September 2012 dibuat MoU studi kelayakan antara PT TWBI dengan Universitas Udayana. Setelah melakukan ‘Studi Kelayakan Revitalisasi Teluk Benoa’, Tim Feasibility Study dari LPPM Universitas Udayana yang diketuai Ida Bagus Putu Adnyana., ST., MT telah melakukan beberapa kali presentasi hasil penelitian tim. Pertama pada 12 November dan 14 Desember 2012 dihadapan BAPPEDA Bali, 3 Agustus 2013 dalam dialog terbuka dengan Gubernur Bali. Hasil studi tersebut nampaknya tidak dipublikasi oleh tim LPPM dan pihak Universitas Udayana sendiri, namun pada 20 Agustus 2013 Rapat koordinasi tim pengulas studi kelayakan oleh LPPM UNUD menyatakan reklamasi “Tidak layak”. 2 September 2013 kembali dalam Rapat Senat Universitas Udayana menyatakan reklamasi “Tidak Layak. Diskusi Publik mengenai Teluk Benoa, perwakilan dari LPPM Unud juga menyatakan reklamasi “Tidak Layak”. Ketidaklayakan reklamasi diperkuat lagi pada 20 September 2013 oleh Prof. Ketut Satriyawan selaku ketua LPPM Unud, dan ditambah pernyataan resmi Universitas Udayana yang menyatakan reklamasi “Tidak Layak”. Namun sampai saat ini di website resmi http://lppm.unud.ac.id/belum ada publikasi atau arsip hasil studi kelayakan. Padahal hasil studi tersebut penting untuk pengetahuan dan informasi masyarakat luas yang membutuhkan kajian akademis terkait reklamasi Teluk Benoa. Namun ketetapan Universitas Udayana yang menyatakan reklamasi tidak layak dilakukan cukup menenangkan semua pihak yang menolak reklamasi. Paling tidak ini menjadi keyakinan bahwa reklamasi memang layak ditolak, karena secara akademis pun sudah dinyatakan demikian.

Seharusnya sampai disini sudah jelas bahwa Reklamasi Teluk Benoa tidak boleh dilakukan sama sekali. Segala bentuk izin yang dikeluarkan oleh Gubernur Mangku Pastika selayaknya dicabut. Izin tersebut antara lain berupa SK Gubernur Bali Nomor 2138/02-CL/HK/2012 (telah dicabut pada 16 Agustus 2013 atas desakan berbagai pihak) dan SK Gubernur Bali Nomor 1727/01-B//HK/2013. SK kedua Gubernur Bali ini pun layak dicabut juga karena kawasan perairan Teluk Benoa sudah jelas merupakan kawasan konservasi yang harus dilindungi. Tidak ada lagi alasan untuk menguji kelayakan pemanfaatan, pengembangan, dan pengelolaan. Setelah gugurnya SK Gubernur Bali yang pertama dan menunggu digugurkannya SK Gubernur Bali yang kedua, diterbitkan pula Peraturan Meteri Kelautan dan Perikanan No 17 Tahun 2013. Permen ini keluar sebagai pengaturan lebih lanjut pasal 21 dan 28 pada Peraturan Pemerintah No 122 Tahun 2012 perihal reklamasi. Selanjutnya ketika polemik makin berkembang, presiden SBY malah mengeluarkan Peraturan Presiden No 51 Tahun 2014 yang juga mengizinkan reklamasi Teluk Benoa. Karena Peraturan Presiden lebih tinggi dibanding Peraturan Meteri, maka yang perlu dibatalkan adalah Peraturan Presiden No 51 Tahun 2014. Tujuannya untuk memulihkan kekuatan hukum Peraturan Presiden No 45 Tahun 2011 dan mengembalikan Pasal 55 ayat (5) yang menyatakan perairan Teluk Benoa merupakan Kawasan Konservasi dan membatalkan kawasan Perairan Teluk Benoa sebagai kawasan budi daya; (P) Penyangga (zona pemanfaatan umum).

 

Peraturan Presiden mendukung Reklamasi

Peraturan Presiden No 51 Tahun 2014 yang dikeluarkan presiden SBY pada 30 Mei 2014. Isi dari PP No 51 tahun 2014 adalah perubahan beberapa ayat pada PP No 45 tahun 2011. Beberapa hal yang diubah antara lain:

  1. Penghilangan keterangan luas wilayah hektar Taman Hutan Raya Ngurah Rai (1.375 hektar) pada pasal 55 ayat (3) huruf a,
  2. Penghilangan perairan kawasan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi pada pasal 55 ayat (5) huruf b,
  3. Penambahan Zona Penyangga (P) pada pasal 56,
  4. Penambahan Pasal 63A:Ayat (1) Zona P sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 merupakan zona perairan pesisir dengan karakteristik kawasan teluk yang berhadapan dengan Zona L3, Zona B1, Zona B2, dan Zona B3 di Kawasan Teluk Benoa, yang menjaga fungsi Zona L3, Zona B1, Zona B2, dan Zona B3 sebagai kawasan pemanfaatan umum yang potensial untuk kegiatan kelautan, perikanan, kepelabuhanan, transportasi, pariwisata, pengembangan ekonomi, permukiman, sosial budaya, dan agama.Ayat (2) Zona P sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan di perairan pesisir Teluk Benoa yang berada di sebagian Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar dan sebagian Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung.

    Ayat (3) Zona P yang berdasarkan ketentuan perundang-undangan di bidang kehutanan masih ditetapkan sebagai Taman Hutan Raya Ngurah Rai, selanjutnya disebut L3/P di sebagian Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, termasuk Pulau Pudut.

    Ayat (4) Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,

  1. Penambahan huruf h yaitu “arahan Peraturan zonasi untuk Zona P” pada pasal 81 ayat (3)
  2. Penambahan pasal 101A:Arahan peraturan zonasi untuk Zona P sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (3) huruf h terdiri atas:a. kegiatan yang diperbolehkan meliputi kegiatan perlindungan dan pelestarian fungsi Taman Hutan Raya dan ekosistem mangrove, kelautan, perikanan, kepelabuhanan, transportasi, pariwisata, pengembangan ekonomi, permukiman, sosial budaya, dan agama;

    b. kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat meliputi kegiatan selain sebagaimana dimaksud pada huruf a yang tidak mengganggu fungsi Zona P;

    c. kegiatan yang tidak diperbolehkan meliputi kegiatan untuk tempat pembuangan limbah dan kegiatan yang mengganggu fungsi Zona P;

    d. Penerapan ketentuan di Zona P meliputi:

    1). kegiatan dalam Zona P yang berhadapan dengan Zona L3 dilakukan dengan menjaga fungsi Taman Hutan Raya Ngurah Rai dan ekosistem mangrove serta pendalaman bagian-bagian tertentu dari Teluk;

    2). penyediaan aksesibilitas di dalam kawasan teluk, termasuk ketersediaan alur pelayaran;

    3). pemanfaatan ruang dengan tidak mengganggu keberlanjutan fungsi sistem Daerah Aliran Sungai;

    4). pemanfaatan ruang dilakukan sekurang-kurangnya berjarak 100 (seratus) meter dari Zona L3;

    5). pemanfaatan ruang dengan memperhatikan rencana induk pengembangan Pelabuhan Internasional Benoa, Bandar Udara Internasional Ngurah Rai, Jalan Bebas Hambatan Serangan-Benoa-Bandar Udara Ngurah Rai-Nusa Dua-Tanjung Benoa, dan fungsi jaringan energi;

    6). kegiatan sebagaimana dimaksud huruf a dan b dapat dilakukan melalui kegiatan revitalisasi termasuk penyelenggaraan reklamasi paling luas 700 (tujuh ratus) hektar dari Kawasan Teluk Benoa; dan

    7). pemanfaatan ruang untuk mitigasi bencana,

    e. kegiatan sebagaimana dimaksud huruf d angka 6 melalui penyelenggaraan reklamasi dilakukan dengan:

    1). penyediaan ruang terbuka hijau paling kurang 40% dari total luasan pulau hasil reklamasi;

    2). penerapan ketentuan tata bangunan dan lingkungan yang meliputi ketentuan KDB, KLB, KDH, KTB, ketinggian bangunan, dan GSB terhadap jalan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;

    3). pengembangan sentra ekonomi berbasis lingkungan dan budaya Bali;

    4). pengaturan tata letak, bentuk, dan luasan, ditentukan berdasarkan hasil kajian kelayakan lingkungan;

    5). aksesibilitas di dalam kawasan teluk, termasuk ketersediaan alur pelayaran dan alur aliran air antar pulau hasil reklamasi dengan memperhatikan karakteristik lingkungan, kedalaman paling kurang 2 (dua) meter dari titik surut terendah;

    6). perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang untuk kegiatan reklamasi dalam Zona P dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  1. Penambahan pasal 120 A:Ayat (1) Dalam Zona P dapat dikembangkan sistem pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana: jaringan transportasi, energi, telekomunikasi, sumber daya air, dan prasarana perkotaan guna mendukung pengembangan dan fungsi Zona P yang ditetapkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.Ayat (2) Sistem jaringan prasarana: jaringan transportasi, energi, telekomunikasi, sumber daya air, dan prasarana perkotaan dapat dikembangkan di Kawasan Perkotaan Sarbagita guna mendukung pengembangan dan fungsi Zona P yang ditetapkan sesuai ketentuan peraturan perundang undangan.

    Ayat (3) Pengembangan sistem permukiman dan sistem jaringan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengembangan sistem jaringan prasarana ayat (2) dikoordinasikan oleh Menteri.

  1. Perubahan pasal 122 ayat (2) menjadi: (2) Sepanjang rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana rinci tata ruang berikut peraturan zonasi termasuk rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil provinsi dan kabupaten/kota di Kawasan Perkotaan Sarbagita belum ditetapkan dan/atau disesuaikan dengan Peraturan Presiden ini, digunakan rencana tata ruang Kawasan Perkotaan Sarbagita sebagai acuan pemberian izin pemanfaatan ruang.
  2. Perubahan gambar lampiran (sumber: www.forbali.org)bali2-PERBADINGAN-PETA-PERPRES-45_2011-DENGAN-PEPRES-51_2014

 

 

Apa dampak dari terbitnya Peraturan Presiden No 51 tahun 2014 ini?

Jantung masalah dalam PP ini adalah (salah satunya) pasal 101A, huruf (d) angka 6. Pada bagian itu disebutkan “kegiatan sebagaimana dimaksud huruf a dan b dapat dilakukan melalui kegiatan revitalisasi termasuk penyelenggaraan reklamasi paling luas 700 (tujuh ratus) hektar dari Kawasan Teluk Benoa”. (Huruf tebal; penulis) ini mengingatkan kita kembali pada miskonsepsi terhadap upaya perlindungan ekosistem Teluk Benoa. Tidak hanya secara terang – terangan mengizinkan reklamasi seluas 700 hektar pada Teluk Benoa, namun kalimat tersebut merupakan upaya pelolosan reklamasi Teluk Benoa. Kalimat tersebut menggunakan kata ‘revitalisasi’ sebagai alasan melakukan ‘reklamasi’. Apakah yang dimaksud ‘revitalisasi’ dalam peraturan tersebut seperti definisi pada KBBI yang berbunyi ‘proses, cara, perbuatan menghidupkan atau menggiatkan kembali’?. Jika re-vital-isasi yang berarti menghidupkan kembali (berarti sesuatu yang telah mati), maka Teluk Benoa bukanlah ‘sesuatu’ yang telah mati. Justru sebaliknya, Teluk Benoa adalah kehidupan. Kehidupan bagi banyak hal. Kehidupan bagi nelayan, bagi warga sekitar Teluk Benoa, warga Benoa, bahkan ekosistem biotik yang terdiri dari vegetasi seperti mangrove serta hewan-hewan yang menempatinya. Kenyataan yang akan terjadi malah sebaliknya bila reklamasi dilakukan pada Teluk Benoa yang hidup. Reklamasi yang dilakukan merupakan pengerukan kehidupan yang nyata tersebut, pengeringan laut yang berisi kehidupan yang nyata, dan penimbunan pada kehidupan warga sekitar Teluk Benoa (kata tebal merupakan kata pada undang – undang yang menjadi acuan rencana reklamasi)

Lalu apa sebenarnya tujuan dikeluarkan Peraturan Presiden No 51 tahun 2014 ini? Selain jelas bahwa peraturan ini mengizinkan reklamasi Teluk Benoa, nampak bahwa peraturan ini merupakan landasan bagi berdirinya mega proyek yang direncanakan PT. TWBI. Dugaan skenario yang sangat mungkin dilakukan karena banyaknya kemiripan dan kesesuaian antara isi Peraturan Presiden dengan tujuan reklamasi.

  1.  Syarat berdirinya mega proyek tersebut diatas Teluk Benoa, maka posisi Teluk Benoa sebagai wilayah konservasi harus dihilangkan terlebih dahulu (lihat pasal 55 ayat (5) huruf b).
  2. Lokasi berdirinya mega kompleks adalah pada zona penyangga (P). Zona ini seperti sengaja diciptakan untuk mengakomodir lokasi proyek (lihat pasal 63A, Zona P dapat digunakan untuk ‘…kawasan pemanfaatan umum yang potensial untuk kegiatan kelautan, perikanan, kepelabuhanan, transportasi, pariwisata, pengembangan ekonomi, permukiman, sosial budaya, dan agama’). Isu yang beredar adalah mega proyek tersebut memang akan membangun kawasan yang terdiri dari pelabuhan tempat Yacht bersandar, Hotel, Apartemen, tempat ibadah, tempat pagelaran kesenian, bahkan taman wisata sekelas DisneyLand.
  3. Rencana mega proyek mengembangkan sistem jaringan prasarananya seperti transportasi, energi, telekomunikasi, sumber daya air, dan prasarana perkotaan lainnya {lihat pasal 120 ayat (1)}. Dugaan penciptaan kota diatas Perairan Benoa makin jelas.
  4. Wilayah Sarbagita pun akan dikembangkan prasarananya untuk mendukung mega kompleks ini {lihat pasal 120 ayat (2)}. Hal ini akan semakin membebankan Sarbagita karena dijadikan penyokong mega kompleks tersebut. Kedua pengadaan prasarana tersebut direncanakan disediakan peraturan perundang – undangan pendukung dan dikordinasikan oleh menteri.

 

 

Sikap BEM FEB UGM terkait ReklamasiTelukBenoa

Setelah melalui usaha pengumpulan informasi, fakta, data dan meneliti kejanggalan – kejanggalan mega proyek reklamasi Teluk Benoa, disertai juga usaha dalam memaparkan informasi tersebut, kami memutuskan untuk MENOLAK REKLAMASI TELUK BENOA. BEM FEB UGM juga menuntut agar presiden SBY mencabut Peraturan Presiden No 51 Tahun 2014. Tuntutan juga berlaku kepada presiden terpilih Joko Widodo untuk mencabut Peraturan Presiden No 51 Tahun 2014 bila telah memasuki masa jabatan dan presiden SBY tidak juga mencabut PP tersebut. Kami juga menuntut agar presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghentikan segala proses perizinan reklamasi Teluk benoa. Tuntuan penghentian pemberian izin reklamasi Teluk Benoa juga berlaku bagi presiden terpilih Joko Widodo bila telah memasuki masa jabatan namun perizinan tersebut masih berlangsung.

Implikasi Peraturan Presiden No 51 Tahun 2014 dicabut, maka tidak ada perubahan pada Peraturan Presiden No 45 Tahun 2011. Teluk Benoa tetap menjadi kawasan konservasi, hilangnya zona penyangga (P), dan perairan Teluk Benoa tetap termasuk zona L3 (zona lindung 3 merupakan kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan kawasan cagar budaya). Selain pencabutan Peraturan Presiden No 51 Tahun 2014, kami menuntut agar pemerintah menerbitkan undang – undang baru tersendiri tentang kawasan konservasi, kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan kawasan cagar budaya. penyusunan undang – undang baru tersebut juga harus mengikutsertakan stakeholder secara menyeluruh (masyarakat, akademisi, dan kelompok pecinta lingkungan). Hal ini untuk memastikan bahwa kawasan – kawasan tersebut dijamin perlindungannya oleh undang – undang dan memiliki kekuatan hukum yang pasti.

sumber: http://bem.feb.ugm.ac.id/tolak-reklamasi-teluk-benoa/