Oktober 7th, 2013 // ForBALI

Reklamasi Mendorong Alih Fungsi Lahan Sawah di Bali

REKLAMASI MENDORONG ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH DI BALI

OLEH WAYAN WINDIA
sumber: BALI EXPRESS
Jumat, 4 Oktober 2013

Dalam sebuah seminar, saya terkejut ketika mendengar informasi bahwa kalangan DPRD Bali, pejabat Pemda Bali dan calon investor reklamasi Tanjung Benoa berbicara tentang alih fungsi lahan sawah. Mereka mengatakan reklamasi berfungsi untuk menghambat alih fungsi lahan sawah di Bali. Lho bagaimana bisa begitu? Saya maklum kalau hanya pihak investor mengatakan hal itu. Karena ia sangat berkepentingan untuk mengeruk dan kemudian merusak alam Bali. Sudah menjadi rahasia umum bahwa para investor yang kapitalis, cirinya adalah mereka selalu sangat eksploratif (menggali) dan eksploitatif (menghisap). Ampasnya dibuang menjadi kasus polutif. Kemudian setelah sumber dayanya habis, maka mereka akan segera lari. Kasus kapitalisme di Armenia adalah sebuah contoh klasik yang tercatat dalam sebuah sejarah pembangunan, seperti yang pernah dikatakan Ketua DPD-RI.

Sudah menjadi sejarah dalam proses pembangunan di Bali, bahwa laju pembangunan sarana kepariwisataan berbanding lurus dengan lajunya arus alih fungsi lahan sawah. Pada tahun 1980an, kasus yang sama pernah terjadi. Dalam era itu, pembangunan kepariwisataan sedang di-push. Tercatat laju alih fungsi lahan sawah pada saat itu seketika melompat menjadi lebih dari 1000 ha/tahun. Sementara itu, dengan metode analisis spasial, tim Litbang Kompas (2013) mencatat bahwa, di mana ada pembangunan kawasan wisata, maka di kawasan itulah berkembang kawasan kumuh. Jadi, ada hubungan yang kuat antara pembangunan pariwisata dengan kawasan kumuh di Bali. Analogi inilah yang terjadi antara pembangunan kawasan wisata (reklamasi) dengan alih fungsi lahan sawah.

Logika sederhananya adalah, bahwa setiap pembangunan kawasan wisata akan mendorong orang untuk bekerja di sana, termasuk masuknya kaum migran. Kondisi ini akan mendorong pembangunan fisik lainnya, seperti pembangunan warung, toko, restoran, perumahan, hotel kecil, dan berbagai sarana prasarana lainnya. Pembangunan fisik sebagai akibat dari multiplier-efect pembangunan (reklamasi) inilah yang mendorong alih fungsi lahan sawah.

Bahwa kehadiran migran di Bali sudah menjadi rahasia umum. Saat ini, pertumbuhan penduduk di Badung dan Denpasar naik sekitar 3-5 persen pertahun. Kenaikan itu, 50 persen disebabkan karena kedatangan migran. Kenapa migran datang ke Bali? Tentu saja karena di Bali ada pembangunan pariwisata. Kalau pembangunan pariwisata di Balitidak dihentikan (sementara), maka migran akan semakin datang. Migran yang beranak pinak akan memangsa lahan sawah di Bali. Itulah sebabnya, pembangunan pariwisata telah menjadi kanibal bagi sektor pertanian. Oleh karenanya, seperti tidak masuk akal kalau dikatakan bahwa pengunan reklamasi yang akan dimanfaatkan sebagai sarana kepariwisataan, akan dapat menghentikan/mengendalikan alih fungsi lahan sawah di Bali. Justru sebaliknya yang akan terjadi.

Sementara itu, pembangunan pariwisata juga mendorong alam pikir beberapa tokoh masyarakat mulai keblinger. Mereka kini justru menginginkan agar peraturan tentang ketinggian bangunan di Bali untuk segera direvisi. Alasan tujuannya juga sama, yakni untuk menghindari alih fungsi lahan. Mereka mungkin lupa bahwa, ijin pembangunan bangunan yang tinggi akan mendorong kapitalis, pembangunan fisik lainnya, migran, dll. Sekali lagi, komponen inilah yang akan menjadi kanibalis bagi lahan sawah di Bali.

Dalam suatu pertemuan di Jakarta membahas tentang Warisan Budaya Dunia (WBD) beberapa pakar di Kem-PU justru mengatakan bahwa Bali akan semakin hancur kalau terus dibangun berbagai infrastruktur. Dengan dibuatkan jalan tol, under-pass, dll, maka akan semakin menyuburkan kedatangan kaum kapitalis ke Bali. Dalam beberapa saat, jalan macet akan kembali muncul. Saat ini jalan macet hanya berpindah ke beberapa kawasan lain. Sementara itu, sawah-sawah di Bali akan semakin tertekan kalau di Bali masih terus mengandalkan wisatawan massal, maka pariwisata Bali akan semakin dikendalikan oleh orang asing. Hal inilah yang menyebabkan rakyat Bali akan makin menjadi penonton di rumahnya sendiri. Kalau hal itu terus terjadi, maka kehancuran Bali akan semakin nyata. Oleh karenanya diperlukan kebijakan pariwisata dengan landasan pemberdayaan masyarakat pedesaan harus dilindungi dan diperdayakan, agar lebih mampu berperan dalam memanfaatkan kedatangan wisatawan. Hanya dengan cara ini kepariwisataan di Bali akan semakin abadi.

Dengan konsep pemberdayaan masyarakat pedesaan (desa adat), pemberdayaan petani (subak), maka Bali akan memiliki dukungan kelembagaan yang semakin kuat dalam pembangunan ekonomi (pariwisata). Apalagi saat ini di Bali sudah ada subak sebagai WBD. Maka tidak ada alasan bagi Pemda di Bali untuk tidak memperhatikan dan memberdayakan subak. Kalau memang kita ingin ada Pulau Bali yang ajeg. Kalau tidak marilah kita terus membangun dengan sistem prokapitalis (seperti yang sekarang kita laksanakan). Selamat tinggal Bali.

REKLAMASI MENDORONG ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH DI BALI

OLEH WAYAN WINDIA
sumber: BALI EXPRESS
Jumat, 4 Oktober 2013

Dalam sebuah seminar, saya terkejut ketika mendengar informasi bahwa kalangan DPRD Bali, pejabat Pemda Bali dan calon investor reklamasi Tanjung Benoa berbicara tentang alih fungsi lahan sawah. Mereka mengatakan reklamasi berfungsi untuk menghambat alih fungsi lahan sawah di Bali. Lho bagaimana bisa begitu? Saya maklum kalau hanya pihak investor mengatakan hal itu. Karena ia sangat berkepentingan untuk mengeruk dan kemudian merusak alam Bali. Sudah menjadi rahasia umum bahwa para investor yang kapitalis, cirinya adalah mereka selalu sangat eksploratif (menggali) dan eksploitatif (menghisap). Ampasnya dibuang menjadi kasus polutif. Kemudian setelah sumber dayanya habis, maka mereka akan segera lari. Kasus kapitalisme di Armenia adalah sebuah contoh klasik yang tercatat dalam sebuah sejarah pembangunan, seperti yang pernah dikatakan Ketua DPD-RI.

Sudah menjadi sejarah dalam proses pembangunan di Bali, bahwa laju pembangunan sarana kepariwisataan berbanding lurus dengan lajunya arus alih fungsi lahan sawah. Pada tahun 1980an, kasus yang sama pernah terjadi. Dalam era itu, pembangunan kepariwisataan sedang di-push. Tercatat laju alih fungsi lahan sawah pada saat itu seketika melompat menjadi lebih dari 1000 ha/tahun. Sementara itu, dengan metode analisis spasial, tim Litbang Kompas (2013) mencatat bahwa, di mana ada pembangunan kawasan wisata, maka di kawasan itulah berkembang kawasan kumuh. Jadi, ada hubungan yang kuat antara pembangunan pariwisata dengan kawasan kumuh di Bali. Analogi inilah yang terjadi antara pembangunan kawasan wisata (reklamasi) dengan alih fungsi lahan sawah.

Logika sederhananya adalah, bahwa setiap pembangunan kawasan wisata akan mendorong orang untuk bekerja di sana, termasuk masuknya kaum migran. Kondisi ini akan mendorong pembangunan fisik lainnya, seperti pembangunan warung, toko, restoran, perumahan, hotel kecil, dan berbagai sarana prasarana lainnya. Pembangunan fisik sebagai akibat dari multiplier-efect pembangunan (reklamasi) inilah yang mendorong alih fungsi lahan sawah.

Bahwa kehadiran migran di Bali sudah menjadi rahasia umum. Saat ini, pertumbuhan penduduk di Badung dan Denpasar naik sekitar 3-5 persen pertahun. Kenaikan itu, 50 persen disebabkan karena kedatangan migran. Kenapa migran datang ke Bali? Tentu saja karena di Bali ada pembangunan pariwisata. Kalau pembangunan pariwisata di Balitidak dihentikan (sementara), maka migran akan semakin datang. Migran yang beranak pinak akan memangsa lahan sawah di Bali. Itulah sebabnya, pembangunan pariwisata telah menjadi kanibal bagi sektor pertanian. Oleh karenanya, seperti tidak masuk akal kalau dikatakan bahwa pengunan reklamasi yang akan dimanfaatkan sebagai sarana kepariwisataan, akan dapat menghentikan/mengendalikan alih fungsi lahan sawah di Bali. Justru sebaliknya yang akan terjadi.

Sementara itu, pembangunan pariwisata juga mendorong alam pikir beberapa tokoh masyarakat mulai keblinger. Mereka kini justru menginginkan agar peraturan tentang ketinggian bangunan di Bali untuk segera direvisi. Alasan tujuannya juga sama, yakni untuk menghindari alih fungsi lahan. Mereka mungkin lupa bahwa, ijin pembangunan bangunan yang tinggi akan mendorong kapitalis, pembangunan fisik lainnya, migran, dll. Sekali lagi, komponen inilah yang akan menjadi kanibalis bagi lahan sawah di Bali.

Dalam suatu pertemuan di Jakarta membahas tentang Warisan Budaya Dunia (WBD) beberapa pakar di Kem-PU justru mengatakan bahwa Bali akan semakin hancur kalau terus dibangun berbagai infrastruktur. Dengan dibuatkan jalan tol, under-pass, dll, maka akan semakin menyuburkan kedatangan kaum kapitalis ke Bali. Dalam beberapa saat, jalan macet akan kembali muncul. Saat ini jalan macet hanya berpindah ke beberapa kawasan lain. Sementara itu, sawah-sawah di Bali akan semakin tertekan kalau di Bali masih terus mengandalkan wisatawan massal, maka pariwisata Bali akan semakin dikendalikan oleh orang asing. Hal inilah yang menyebabkan rakyat Bali akan makin menjadi penonton di rumahnya sendiri. Kalau hal itu terus terjadi, maka kehancuran Bali akan semakin nyata. Oleh karenanya diperlukan kebijakan pariwisata dengan landasan pemberdayaan masyarakat pedesaan harus dilindungi dan diperdayakan, agar lebih mampu berperan dalam memanfaatkan kedatangan wisatawan. Hanya dengan cara ini kepariwisataan di Bali akan semakin abadi.

Dengan konsep pemberdayaan masyarakat pedesaan (desa adat), pemberdayaan petani (subak), maka Bali akan memiliki dukungan kelembagaan yang semakin kuat dalam pembangunan ekonomi (pariwisata). Apalagi saat ini di Bali sudah ada subak sebagai WBD. Maka tidak ada alasan bagi Pemda di Bali untuk tidak memperhatikan dan memberdayakan subak. Kalau memang kita ingin ada Pulau Bali yang ajeg. Kalau tidak marilah kita terus membangun dengan sistem prokapitalis (seperti yang sekarang kita laksanakan). Selamat tinggal Bali.