Januari 2nd, 2015 // ForBALI

Pertarungan Untuk Teluk Benoa

IMG-20141115-WA0006

Oleh Saras Dewi

Betapa menyedihkannya, bila I Gusti Ngurah Made Agung, Dewa Agung Jambe, Gusti Ngurah Jelantik, Ni Sagung Ayu Wah dan I Gusti Ngurah Rai melihat tanah dan masyarakat yang mereka cintai sekarang? Apakah rakyat Bali masih mengenal nama-nama ini?

Ataukah nama-nama mereka telah luntur dihapus hiruk pikuk modernitas? Lupakah rakyat Bali terhadap sejarah kebesaran perang puputan?

Pada perayaan Galungan ini, penting untuk mengkontemplasikan nama-nama ini dan melihat keterkaitannya dengan Bali kini. Mereka pahlawan-pahlawan yang telah memperjuangkan tanah Bali dari penjajahan.

Lagipula, tidakah Galungan itu keyakinan di mana kebaikan akan berjaya dari keburukan, Dharma di atas Adharma?  Pemahaman Galungan tentunya jangan hanya dimaknai secara terbatas sebagai ritus seremonial saja, tetapi secara kontekstual, Galungan seharusnya mengingatkan masyarakat di Bali tentang penegakan Dharma.

I.               Tanah Dijunjung

Pagi hari pada 20 September 1906 Raja Badung, I Gusti Ngurah Made Agung yang berpakaian serba putih bersembahyang dengan khusyuk di Pura Satria. Ia tidak sendiri. Ratusan orang bersenjatakan tombak dan keris bersembahyang bersamanya juga.

Menjelang siang harinya, serdadu Belanda telah berhasil menggempur para laskar Badung. Mereka memasuki wilayah Taen Siat dengan mudah. Target mereka selanjutnya adalah menundukan Raja Badung. Sang Raja duduk ditandu tanpa rasa gentar. Wajahnya penuh tekad perlawanan. Di depan rakyatnya ia menunggu kedatangan musuh dengan berani.

Di dalam laporannya, H.M van Weede seorang jurnalis berkebangsaan Belanda, ia menuliskan kesaksiannya tentang Perang Puputan Badung. Tulisan ini kelak diterbitkan dalam bukunya Indische Reisherinneringen. Buku ini memuat kejadian penting khususnya puncak peperangan di Denpasar yang berakhir dengan puputan, atau pertarungan habis-habisan.

Ia menulis, “Perempuannya membusungkan dada siap untuk ditusuk… Apabila mereka tergeletak mati karena tembakan kami, yang lainnya berdiri laki-laki atau perempuan untuk melanjutkan tugas berdarah mereka. Bunuh diri juga dilakukan oleh banyak orang. Semua orang nampaknya sangat ingin mati, beberapa perempuan melempar mata uang emas kepada pasukan kami sebagai balasan jasa atas pembunuhan mereka. Mereka menunjuk-nunjuk pada jantung mereka bermaksud ingin dibunuh.”[1]

Betapa heroiknya para perempuan yang melempar uang kepeng, sebagai tanda bahwa mereka menyambut kematian dengan sukacita. Mereka tidak memiliki hutang piutang dengan para tentara yang menembak mereka. Kematian menjadi jalan Dharma, jalan pengabdian terhadap tanah yang mereka cintai.

Selain laporan dari sisi Belanda, sumber lainnya yang berharga mendokumentasikan Perang Puputan Badung termaktub dalam Kidung Bhuwanawinasa yang ditulis Ida Pedanda Ngurah dari Griya Gede Blayu. Kidung Bhuwanawinasa memberikan perspektif bagaimana detik-detik Raja Badung melakukan puputan. Dengan bahasa yang puitis dituliskan bagaimana Raja Badung siap bertempur demi prinsip kebenaran, “Menurut pikiran saya sekarang, mempertahankan kebenaran ajaran agama, walaupun berakhir dengan kematian, adalah kebanggaan mencapai sorga. Agar sungguh-sungguh memperoleh jalan kebebasan dan kemerdekaan, kejayaan pikiran itulah tujuan, sesuai dengan apa yang telah diputuskan.”[2]

Ketika puputan terjadi, Raja Badung menghadapi pasukan bersenjata dengan berani. Ia hanya memegang keris pusaka keluarganya. Keris itu menjadi simbol perlawanan sampai darah penghabisan. Tidak lama setelah rombongan berjalan beriring-iringan mendatangi pasukan bersenjata, bunyi tembakan meletus. Raja pun gugur tertembak di kepalanya.

Rakyat dan keluarga puri yang melihat Rajanya tewas tertembak, berhamburan meraung menangis. Sebagian berlari menghampiri tembakan meriam dan peluru. Sebagian menghunus keris ke dadanya sendiri.

Raja Badung memiliki kesempatan untuk berkompromi dengan pihak Belanda, bila ia meminta maaf dan mengakui telah lalai mematuhi aturan Belanda untuk membekukan hukum tawan karang. Tetapi, sebaliknya, Raja Badung bersikeras bahwa mengenai kapal Sri Komala yang terdampar di Pantai Sanur, baik dirinya maupun rakyat Denpasar tidak menjarah isi dari kapal yang karam tersebut.

Dalam laporan yang ditulis pemimpin ekspedisi penyerangan ke Bali, Jenderal Rost van Tonningen menjelaskan bahwa dikarenakan pembangkangan yang dilakukan Raja, pemerintah Belanda menuntut ganti rugi sebesar 3.000 rijksdaalder, kemudian mereka juga memblokade jalur-jalur pelabuhan di Sanur [3].

Raja Badung yang berlimpah emas dan perak tentunya dapat dengan mudah meredam permasalahan dengan tunduk terhadap permintaan Belanda. Namun, ia menolak patuh dengan kesewenangan yang dilakukan pihak Belanda, juga kebohongan dan hasutan yang dianggap menjatuhkan harga diri Kerajaan Badung.

Dalam Kidung Bhuwanawinasa dituliskan bagaimana Raja Badung melakukan penyelidikan ke Sanur untuk memeriksa ihwal tuduhan terjadinya penjarahan. Ini jawaban dari punggawanya, Ida Bagus Ngurah; “Yang Mulia Tuanku Raja, konon begitulah tuduhan yang ditetapkan. Tetapi tidak ada seorang pun yang mengambil, benda-benda seperti perak, emas, dan uang. Saya melihat dengan mata kepala sendiri tentang isi muatan kapal itu, hanyalah batu-batu, dan barang-barang tak berharga lainnya.”[4]

Begitulah, martabat di atas apapun, kehormatan leluhur dijunjung setinggi mungkin, dan tanah mesti dibela.

Itu pesan dari Puputan Badung. Betapa mulianya mereka yang menyambut kematian dengan gagah demi kebenaran. Belanda yang berupaya keras memperluas invasi memang menantikan pecahnya peperangan dengan Bali. Segala taktik dilakukan agar Bali sepenuhnya jatuh ke dalam kekuasaan Belanda. Jenderal Rost van Tonningen menyampaikan dalam suratnya bahwa pendudukan Badung adalah prestasi besar bagi Belanda, ia merasa bahwa momentum itulah puncak keberhasilan invasi tentara Belanda.

Tetapi, tidak bagi rakyat Bali, kematian Raja Badung memicu pemberontakan-pemberontakan lainnya, pemberontakan di Tabanan yang memunculkan tokoh perempuan Ni Sagung Ayu Wah, kemudian Puputan di Klungkung pada 1908. Pemberontakan Raja Badung juga tidak jauh dari tradisi keberanian yang dilakukan saat  Puputan Jagaraga pada 1849 yang dipimpin Patih Buleleng, Gusti Ngurah Jelantik.

Hingga akhirnya, Puputan Margarana yang terjadi pada tanggal 20 November 1946 dipimpin seorang kolonel pemberani bernama I Gusti Ngurah Rai. Bertempat di Desa Marga, pertarungan berdarah terjadi, yang mengakibatkan gugurnya seluruh pasukan Ciung Wanara, begitu juga sang Kolonel I Gusti Ngurah Rai.

II.             Reklamasi Teluk Benoa dan Penjajahan

Apakah kini Bali telah merdeka dari penjajahan? Itu adalah pertanyaan kritis filosofis yang menyoal pemahaman kita tentang apa penjajahan itu? Memang masyarakat Bali tidak lagi berperang melawan kolonialisme, tidak ada lagi serdadu-serdadu Belanda yang menyerang di laut, hutan dan jalan-jalan di Bali. Tetapi lihatlah ke sekeliling dan resapi keadaan Bali sekarang, sudahkah masyarakatnya sejahtera? Apakah alamnya lestari? Apakah adat dan budayanya tengah bertahan?

Bali sedang berubah, dan perubahan itu tidak dalam arti yang lebih baik. Pembangunan infrastruktur pariwisata yang lepas kendali menyebabkan ketimpangan dalam struktur alam, budaya dan masyarakat Bali.

Bali sedang terjajah. Pendewaan terhadap uang juga ambisi rakus MP3EI adalah penjajahan jenis baru. Tidakkah masyarakat Bali mengingat ajaran-ajaran para nenek moyang, Tri Hita Karana, yang berulang-ulang kali diucapkan sebagai semboyan hidup orang Bali, tetapi pemaknaannya nampak luruh dihadapkan proyek-proyek investor.

Masihkah Tri Hita Karana menggema di dalam tubuh dan pikiran masyarakat Bali? Tri Hita Karana yang berarti tiga penyebab kebahagiaan, kebahagiaan yang datang dari keseimbangan hubungan antara manusia, alam dan Tuhan.

Kesungguhan dihayatinya falsafah Tri Hita Karana oleh masyarakat Bali kini tengah diuji. Semenjak dua tahun yang lalu, ketika bergulir rencana Gubernur Bali Mangku Pastika untuk mereklamasi Teluk Benoa melalui diterbitkannya SK Gubernur hingga akhirnya pertempuran diambil alih mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan menerbitkan Perpres No. 51 tahun 2014 yang mengubah tata ruang wilayah konservasi Teluk Benoa.

Pertempuran tengah terjadi, antara rakyat Bali, melawan kekuasaan kolusi antara pemerintah korup dengan pihak konglemerasi yang ingin memeras Bali hingga ia kering kerontang. Perjuangan masyarakat Bali dalam mempertahankan alamnya mengalami berbagai intimidasi, kriminalisasi, hingga adu domba. Ingatkah bagaimana lihainya pihak penjajah Belanda membenturkan desa-desa di Bali, menghasut raja-raja di Bali agar saling berperang?

Devide et impera, itu terjadi pula dalam penjajahan atas nama reklamasi ini, politik pecah belah! Masyarakat dibenturkan dengan preman, kebohongan demi kebohongan dilancarkan pihak pengusung reklamasi sebagai provokasi untuk merusak kekuatan perlawanan.

Budayawan dan pakar lontar, Sugi Lanus menguraikan di dalam esainya, bagaimana pertarungan sengit tengah terjadi untuk mempertahankan tanah dari penjarahan. Penjarahan terhadap tanah, atau Karang Ketawan[5] menurut Sugi Lanus adalah pengkerdilan peran Desa Pakraman. Desa Pakraman adalah penjelmaan dari keseimbangan yang dicita-citakan dalam Tri Hita Karana. Masyarakat bertumpu pada keharmonisan yang dituju dalam Desa Pakraman. Bagaimana penyelenggaraan pemerintahan desa yang melibatkan adat istiadat, juga pengembangan nilai spiritual yang menjadi substansi kehidupan bermasyarakat.

Rencana reklamasi melampaui semangat dari Desa Pakraman itu sendiri, disampaikan oleh Sugi Lanus “Mengurug sempadan sungai atau pantai, atau perluasan pulau, oleh investor untuk diperjualbelikan. Sangat jelas bukan demi kepentingan Pakraman.”[6] Keputusan reklamasi yang penuh tipu daya, telah merobek sendi-sendi tata bermasyarakat yang selama ini menjadi pertahanan budaya di Bali.

Meski bermacam-macam siasat dilancarkan untuk mereklamasi Teluk Benoa, nyatanya rakyat berbalik melawan. Ini terbukti dengan terpilihnya Bendesa Adat Tanjung Benoa yang baru. Bersamaan dengan perayaan hari raya Galungan pada 17 Desember 2014, I Made Wijaya resmi menjadi pempimpin adat di Tanjung Benoa. Terpilihnya I Made Wijaya merupakan kulminasi dari pertarungan desa untuk menolak reklamasi yang mengancam perairan Benoa.

Desa sedang melawan. Ini tercermin dari pidato pelantikan yang dibacakan oleh Bendesa Made Wijaya, “Terpilihnya saya sebagai bendesa adat serta komitmen saya tidak akan pernah luntur dalam menolak rencana reklamasi di Teluk Benoa.”[7] Bendesa Made Wijaya memenangkan pemilihan secara aklamasi, sebelumnya sudah terjadi kesepakatan antara empat banjar di Tanjung Benoa; Banjar Anyar, Banjar Kertha Pascima, Banjar Purwa Santi dan Banjar Tengah. Sikap banjar-banjar ini tegas menolak reklamasi Teluk Benoa, dan mereka mendaulat I Made Wijaya sebagai pemimpin baru dan pelindung Teluk Benoa beserta masyarakat Tanjung Benoa.

III.           Kesimpulan: Hak Teluk

Dalam puisinya yang dibacakan pada acara “Puisi Bumi” petang solidaritas  perlawanan reklamasi Teluk Benoa, Rocky Gerung seorang filosof dan dosen Filsafat UI mengatakan; “Teluk adalah hak ombak, ombak adalah hak perahu, perahu adalah hak senja, senja adalah hak hati.”[8]

Puisi dari Rocky Gerung menggugat cara pandang lama yang menganggap bahwa teluk adalah benda mati semata. Teluk Benoa merupakan penyangga kehidupan. Ia rumah bagi beragam biota laut, ikan-ikan, hutan bakau, burung bangau, umang. Tidak terkecuali ia juga menjadi tumpuan para nelayan juga pengusaha lokal yang menawarkan pariwisata bahari keindahan perairan Benoa.

Manusia yang memiliki akal budi seharusnya menyadari betapa berharganya keberlangsungan teluk bagi keseimbangan ekosistem. Hak Teluk Benoa untuk tetap lestari semestinya menjadi kewajiban moral yang dipikul oleh manusia.

Bali menjadi besar karena sejarahnya. Pulau yang dielu-elukan para seniman, penulis dan penjelajah dunia. Keindahan alam, keramahan masyarakatnya, serta keanggunan tradisinya. Mengingat sejarah pula yang akan menyelamatkan Bali dari krisis alam dan kebudayaan ini. Sejarah hidup para leluhur, yang mengutamakan kehidupan yang sederhana, jujur, dan berani melawan ketidakadilan, sepatutnya diingat dan ditanamkan di dalam generasi teruna teruni Bali.

Perlu ada penafsiran kritis tentang pengertian Puputan dan Penjajahan untuk konteks Bali sekarang. Bahwa pertarungan untuk Teluk Benoa adalah pertarungan habis-habisan, puputan untuk Teluk Benoa menjadi amanah bagi mereka yang menyayangi Bali, terlepas dari perbedaan latar belakang etnis, suku, agama maupun ras. Pertarungan mempertahankan Teluk Benoa kini bergaung-gaung, tidak saja di Bali dan dikhususkan untuk masyarakat Bali, tapi bagi mereka yang memiliki kenangan, kecintaan, dan pertautan hati dengan Bali.

Suara solidaritas perlawanan muncul di seluruh Indonesia; Jakarta, Lampung, Jogjakarta, Bandung, Gorontalo, begitu juga dunia internasional; Australia, Belanda dan berbagai negara lainnya.

Penjajahan yang tengah terjadi adalah penghancuran alam oleh mesin kapitalisme. Penjajahan ini terselubung dan menyergap di saat kita membiasakan diri melihat sawah-sawah hijau digusur menjadi vila mewah, atau perairan teluk yang indah ditimbun untuk dijadikan hotel dan pusat hiburan, atau nasib para petani rumput laut tradisional yang tergilas industri dan pembangunan yang bengis.

Kita harus bertanya, siapakah yang diuntungkan dengan pembangunan tidak berkelanjutan ini? PT TWBI, juga pemerintah daerah, DPRD, DPRRI yang berkonspirasi memenangkan proyek reklamasi harus paham bahwa masyarakat tidak akan tinggal diam. Bahwa gelombang perlawanan akan semakin luas dan membesar. Sejarah pun akan mencatat, mereka yang memilih diam dan netral melihat penjarahan keji yang dilakukan menggunakan bulldozer dan mesin keruk. Sejarah pula yang akan menuliskan, bagaimana sikap Presiden baru Republik Indonesia Joko Widodo menyikapi polemik ini. Apakah ia akan memunggungi laut, atau sebaliknya, mencabut Perpres no. 51 tahun 2014 dan menyelamatkan wilayah konservasi Teluk Benoa.

Sebagai kesimpulan, masyarakat Bali harus mengingat! Ingatlah tanah yang telah diperjuangkan dengan pengorbanan nyawa dan darah. Ingatlah perempuan-perempuan yang melempar uang kepeng ke arah tentara dan menukarkan nyawanya demi membela tanah. Ingatlah, agar pengorbanan mereka tidak sia-sia, dan monumen patung-patung mereka tidak menjadi bangunan hampa.

Ingatlah, dan mulai bergerak!

Salam adil dan lestari,

Tolak Reklamasi Teluk Benoa!

Rahajeng Galungan Lan Kuningan.


[1] Seabad Puputan Badung, Perspektif Belanda dan Bali, (ed) Helen Creese, Darma Putra, Henk Schulte Nordholt, hlm. 75, Pustaka Larasan, Bali, 2006

[2] ibid. hlm. 140

[3] ibid. hlm. 5

[4] ibid. hlm. 128

[5] Esai yang dipublikasi  pada tanggal 3 Oktober 2014 di laman blog dengan judul, “Ironi Bali Abad 21: Dari Tawan Karang sampai Karang Ketawan (Reklamasi)” Lihat https://budaya.wordpress.com karya Sugi Lanus.

[6] Ibid.

[8] Puisi Bumi merupakan salah satu rangkaian acara yang diselenggarakan ForBALI yang bertujuan mengkampanyekan misi penyelamatan Teluk Benoa. Acara ini melibatkan penyair, budayawan, musisi yang memiliki kepedulian terhadap kelestarian alam Bali.

IMG-20141115-WA0006

Oleh Saras Dewi

Betapa menyedihkannya, bila I Gusti Ngurah Made Agung, Dewa Agung Jambe, Gusti Ngurah Jelantik, Ni Sagung Ayu Wah dan I Gusti Ngurah Rai melihat tanah dan masyarakat yang mereka cintai sekarang? Apakah rakyat Bali masih mengenal nama-nama ini?

Ataukah nama-nama mereka telah luntur dihapus hiruk pikuk modernitas? Lupakah rakyat Bali terhadap sejarah kebesaran perang puputan?

Pada perayaan Galungan ini, penting untuk mengkontemplasikan nama-nama ini dan melihat keterkaitannya dengan Bali kini. Mereka pahlawan-pahlawan yang telah memperjuangkan tanah Bali dari penjajahan.

Lagipula, tidakah Galungan itu keyakinan di mana kebaikan akan berjaya dari keburukan, Dharma di atas Adharma?  Pemahaman Galungan tentunya jangan hanya dimaknai secara terbatas sebagai ritus seremonial saja, tetapi secara kontekstual, Galungan seharusnya mengingatkan masyarakat di Bali tentang penegakan Dharma.

I.               Tanah Dijunjung

Pagi hari pada 20 September 1906 Raja Badung, I Gusti Ngurah Made Agung yang berpakaian serba putih bersembahyang dengan khusyuk di Pura Satria. Ia tidak sendiri. Ratusan orang bersenjatakan tombak dan keris bersembahyang bersamanya juga.

Menjelang siang harinya, serdadu Belanda telah berhasil menggempur para laskar Badung. Mereka memasuki wilayah Taen Siat dengan mudah. Target mereka selanjutnya adalah menundukan Raja Badung. Sang Raja duduk ditandu tanpa rasa gentar. Wajahnya penuh tekad perlawanan. Di depan rakyatnya ia menunggu kedatangan musuh dengan berani.

Di dalam laporannya, H.M van Weede seorang jurnalis berkebangsaan Belanda, ia menuliskan kesaksiannya tentang Perang Puputan Badung. Tulisan ini kelak diterbitkan dalam bukunya Indische Reisherinneringen. Buku ini memuat kejadian penting khususnya puncak peperangan di Denpasar yang berakhir dengan puputan, atau pertarungan habis-habisan.

Ia menulis, “Perempuannya membusungkan dada siap untuk ditusuk… Apabila mereka tergeletak mati karena tembakan kami, yang lainnya berdiri laki-laki atau perempuan untuk melanjutkan tugas berdarah mereka. Bunuh diri juga dilakukan oleh banyak orang. Semua orang nampaknya sangat ingin mati, beberapa perempuan melempar mata uang emas kepada pasukan kami sebagai balasan jasa atas pembunuhan mereka. Mereka menunjuk-nunjuk pada jantung mereka bermaksud ingin dibunuh.”[1]

Betapa heroiknya para perempuan yang melempar uang kepeng, sebagai tanda bahwa mereka menyambut kematian dengan sukacita. Mereka tidak memiliki hutang piutang dengan para tentara yang menembak mereka. Kematian menjadi jalan Dharma, jalan pengabdian terhadap tanah yang mereka cintai.

Selain laporan dari sisi Belanda, sumber lainnya yang berharga mendokumentasikan Perang Puputan Badung termaktub dalam Kidung Bhuwanawinasa yang ditulis Ida Pedanda Ngurah dari Griya Gede Blayu. Kidung Bhuwanawinasa memberikan perspektif bagaimana detik-detik Raja Badung melakukan puputan. Dengan bahasa yang puitis dituliskan bagaimana Raja Badung siap bertempur demi prinsip kebenaran, “Menurut pikiran saya sekarang, mempertahankan kebenaran ajaran agama, walaupun berakhir dengan kematian, adalah kebanggaan mencapai sorga. Agar sungguh-sungguh memperoleh jalan kebebasan dan kemerdekaan, kejayaan pikiran itulah tujuan, sesuai dengan apa yang telah diputuskan.”[2]

Ketika puputan terjadi, Raja Badung menghadapi pasukan bersenjata dengan berani. Ia hanya memegang keris pusaka keluarganya. Keris itu menjadi simbol perlawanan sampai darah penghabisan. Tidak lama setelah rombongan berjalan beriring-iringan mendatangi pasukan bersenjata, bunyi tembakan meletus. Raja pun gugur tertembak di kepalanya.

Rakyat dan keluarga puri yang melihat Rajanya tewas tertembak, berhamburan meraung menangis. Sebagian berlari menghampiri tembakan meriam dan peluru. Sebagian menghunus keris ke dadanya sendiri.

Raja Badung memiliki kesempatan untuk berkompromi dengan pihak Belanda, bila ia meminta maaf dan mengakui telah lalai mematuhi aturan Belanda untuk membekukan hukum tawan karang. Tetapi, sebaliknya, Raja Badung bersikeras bahwa mengenai kapal Sri Komala yang terdampar di Pantai Sanur, baik dirinya maupun rakyat Denpasar tidak menjarah isi dari kapal yang karam tersebut.

Dalam laporan yang ditulis pemimpin ekspedisi penyerangan ke Bali, Jenderal Rost van Tonningen menjelaskan bahwa dikarenakan pembangkangan yang dilakukan Raja, pemerintah Belanda menuntut ganti rugi sebesar 3.000 rijksdaalder, kemudian mereka juga memblokade jalur-jalur pelabuhan di Sanur [3].

Raja Badung yang berlimpah emas dan perak tentunya dapat dengan mudah meredam permasalahan dengan tunduk terhadap permintaan Belanda. Namun, ia menolak patuh dengan kesewenangan yang dilakukan pihak Belanda, juga kebohongan dan hasutan yang dianggap menjatuhkan harga diri Kerajaan Badung.

Dalam Kidung Bhuwanawinasa dituliskan bagaimana Raja Badung melakukan penyelidikan ke Sanur untuk memeriksa ihwal tuduhan terjadinya penjarahan. Ini jawaban dari punggawanya, Ida Bagus Ngurah; “Yang Mulia Tuanku Raja, konon begitulah tuduhan yang ditetapkan. Tetapi tidak ada seorang pun yang mengambil, benda-benda seperti perak, emas, dan uang. Saya melihat dengan mata kepala sendiri tentang isi muatan kapal itu, hanyalah batu-batu, dan barang-barang tak berharga lainnya.”[4]

Begitulah, martabat di atas apapun, kehormatan leluhur dijunjung setinggi mungkin, dan tanah mesti dibela.

Itu pesan dari Puputan Badung. Betapa mulianya mereka yang menyambut kematian dengan gagah demi kebenaran. Belanda yang berupaya keras memperluas invasi memang menantikan pecahnya peperangan dengan Bali. Segala taktik dilakukan agar Bali sepenuhnya jatuh ke dalam kekuasaan Belanda. Jenderal Rost van Tonningen menyampaikan dalam suratnya bahwa pendudukan Badung adalah prestasi besar bagi Belanda, ia merasa bahwa momentum itulah puncak keberhasilan invasi tentara Belanda.

Tetapi, tidak bagi rakyat Bali, kematian Raja Badung memicu pemberontakan-pemberontakan lainnya, pemberontakan di Tabanan yang memunculkan tokoh perempuan Ni Sagung Ayu Wah, kemudian Puputan di Klungkung pada 1908. Pemberontakan Raja Badung juga tidak jauh dari tradisi keberanian yang dilakukan saat  Puputan Jagaraga pada 1849 yang dipimpin Patih Buleleng, Gusti Ngurah Jelantik.

Hingga akhirnya, Puputan Margarana yang terjadi pada tanggal 20 November 1946 dipimpin seorang kolonel pemberani bernama I Gusti Ngurah Rai. Bertempat di Desa Marga, pertarungan berdarah terjadi, yang mengakibatkan gugurnya seluruh pasukan Ciung Wanara, begitu juga sang Kolonel I Gusti Ngurah Rai.

II.             Reklamasi Teluk Benoa dan Penjajahan

Apakah kini Bali telah merdeka dari penjajahan? Itu adalah pertanyaan kritis filosofis yang menyoal pemahaman kita tentang apa penjajahan itu? Memang masyarakat Bali tidak lagi berperang melawan kolonialisme, tidak ada lagi serdadu-serdadu Belanda yang menyerang di laut, hutan dan jalan-jalan di Bali. Tetapi lihatlah ke sekeliling dan resapi keadaan Bali sekarang, sudahkah masyarakatnya sejahtera? Apakah alamnya lestari? Apakah adat dan budayanya tengah bertahan?

Bali sedang berubah, dan perubahan itu tidak dalam arti yang lebih baik. Pembangunan infrastruktur pariwisata yang lepas kendali menyebabkan ketimpangan dalam struktur alam, budaya dan masyarakat Bali.

Bali sedang terjajah. Pendewaan terhadap uang juga ambisi rakus MP3EI adalah penjajahan jenis baru. Tidakkah masyarakat Bali mengingat ajaran-ajaran para nenek moyang, Tri Hita Karana, yang berulang-ulang kali diucapkan sebagai semboyan hidup orang Bali, tetapi pemaknaannya nampak luruh dihadapkan proyek-proyek investor.

Masihkah Tri Hita Karana menggema di dalam tubuh dan pikiran masyarakat Bali? Tri Hita Karana yang berarti tiga penyebab kebahagiaan, kebahagiaan yang datang dari keseimbangan hubungan antara manusia, alam dan Tuhan.

Kesungguhan dihayatinya falsafah Tri Hita Karana oleh masyarakat Bali kini tengah diuji. Semenjak dua tahun yang lalu, ketika bergulir rencana Gubernur Bali Mangku Pastika untuk mereklamasi Teluk Benoa melalui diterbitkannya SK Gubernur hingga akhirnya pertempuran diambil alih mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan menerbitkan Perpres No. 51 tahun 2014 yang mengubah tata ruang wilayah konservasi Teluk Benoa.

Pertempuran tengah terjadi, antara rakyat Bali, melawan kekuasaan kolusi antara pemerintah korup dengan pihak konglemerasi yang ingin memeras Bali hingga ia kering kerontang. Perjuangan masyarakat Bali dalam mempertahankan alamnya mengalami berbagai intimidasi, kriminalisasi, hingga adu domba. Ingatkah bagaimana lihainya pihak penjajah Belanda membenturkan desa-desa di Bali, menghasut raja-raja di Bali agar saling berperang?

Devide et impera, itu terjadi pula dalam penjajahan atas nama reklamasi ini, politik pecah belah! Masyarakat dibenturkan dengan preman, kebohongan demi kebohongan dilancarkan pihak pengusung reklamasi sebagai provokasi untuk merusak kekuatan perlawanan.

Budayawan dan pakar lontar, Sugi Lanus menguraikan di dalam esainya, bagaimana pertarungan sengit tengah terjadi untuk mempertahankan tanah dari penjarahan. Penjarahan terhadap tanah, atau Karang Ketawan[5] menurut Sugi Lanus adalah pengkerdilan peran Desa Pakraman. Desa Pakraman adalah penjelmaan dari keseimbangan yang dicita-citakan dalam Tri Hita Karana. Masyarakat bertumpu pada keharmonisan yang dituju dalam Desa Pakraman. Bagaimana penyelenggaraan pemerintahan desa yang melibatkan adat istiadat, juga pengembangan nilai spiritual yang menjadi substansi kehidupan bermasyarakat.

Rencana reklamasi melampaui semangat dari Desa Pakraman itu sendiri, disampaikan oleh Sugi Lanus “Mengurug sempadan sungai atau pantai, atau perluasan pulau, oleh investor untuk diperjualbelikan. Sangat jelas bukan demi kepentingan Pakraman.”[6] Keputusan reklamasi yang penuh tipu daya, telah merobek sendi-sendi tata bermasyarakat yang selama ini menjadi pertahanan budaya di Bali.

Meski bermacam-macam siasat dilancarkan untuk mereklamasi Teluk Benoa, nyatanya rakyat berbalik melawan. Ini terbukti dengan terpilihnya Bendesa Adat Tanjung Benoa yang baru. Bersamaan dengan perayaan hari raya Galungan pada 17 Desember 2014, I Made Wijaya resmi menjadi pempimpin adat di Tanjung Benoa. Terpilihnya I Made Wijaya merupakan kulminasi dari pertarungan desa untuk menolak reklamasi yang mengancam perairan Benoa.

Desa sedang melawan. Ini tercermin dari pidato pelantikan yang dibacakan oleh Bendesa Made Wijaya, “Terpilihnya saya sebagai bendesa adat serta komitmen saya tidak akan pernah luntur dalam menolak rencana reklamasi di Teluk Benoa.”[7] Bendesa Made Wijaya memenangkan pemilihan secara aklamasi, sebelumnya sudah terjadi kesepakatan antara empat banjar di Tanjung Benoa; Banjar Anyar, Banjar Kertha Pascima, Banjar Purwa Santi dan Banjar Tengah. Sikap banjar-banjar ini tegas menolak reklamasi Teluk Benoa, dan mereka mendaulat I Made Wijaya sebagai pemimpin baru dan pelindung Teluk Benoa beserta masyarakat Tanjung Benoa.

III.           Kesimpulan: Hak Teluk

Dalam puisinya yang dibacakan pada acara “Puisi Bumi” petang solidaritas  perlawanan reklamasi Teluk Benoa, Rocky Gerung seorang filosof dan dosen Filsafat UI mengatakan; “Teluk adalah hak ombak, ombak adalah hak perahu, perahu adalah hak senja, senja adalah hak hati.”[8]

Puisi dari Rocky Gerung menggugat cara pandang lama yang menganggap bahwa teluk adalah benda mati semata. Teluk Benoa merupakan penyangga kehidupan. Ia rumah bagi beragam biota laut, ikan-ikan, hutan bakau, burung bangau, umang. Tidak terkecuali ia juga menjadi tumpuan para nelayan juga pengusaha lokal yang menawarkan pariwisata bahari keindahan perairan Benoa.

Manusia yang memiliki akal budi seharusnya menyadari betapa berharganya keberlangsungan teluk bagi keseimbangan ekosistem. Hak Teluk Benoa untuk tetap lestari semestinya menjadi kewajiban moral yang dipikul oleh manusia.

Bali menjadi besar karena sejarahnya. Pulau yang dielu-elukan para seniman, penulis dan penjelajah dunia. Keindahan alam, keramahan masyarakatnya, serta keanggunan tradisinya. Mengingat sejarah pula yang akan menyelamatkan Bali dari krisis alam dan kebudayaan ini. Sejarah hidup para leluhur, yang mengutamakan kehidupan yang sederhana, jujur, dan berani melawan ketidakadilan, sepatutnya diingat dan ditanamkan di dalam generasi teruna teruni Bali.

Perlu ada penafsiran kritis tentang pengertian Puputan dan Penjajahan untuk konteks Bali sekarang. Bahwa pertarungan untuk Teluk Benoa adalah pertarungan habis-habisan, puputan untuk Teluk Benoa menjadi amanah bagi mereka yang menyayangi Bali, terlepas dari perbedaan latar belakang etnis, suku, agama maupun ras. Pertarungan mempertahankan Teluk Benoa kini bergaung-gaung, tidak saja di Bali dan dikhususkan untuk masyarakat Bali, tapi bagi mereka yang memiliki kenangan, kecintaan, dan pertautan hati dengan Bali.

Suara solidaritas perlawanan muncul di seluruh Indonesia; Jakarta, Lampung, Jogjakarta, Bandung, Gorontalo, begitu juga dunia internasional; Australia, Belanda dan berbagai negara lainnya.

Penjajahan yang tengah terjadi adalah penghancuran alam oleh mesin kapitalisme. Penjajahan ini terselubung dan menyergap di saat kita membiasakan diri melihat sawah-sawah hijau digusur menjadi vila mewah, atau perairan teluk yang indah ditimbun untuk dijadikan hotel dan pusat hiburan, atau nasib para petani rumput laut tradisional yang tergilas industri dan pembangunan yang bengis.

Kita harus bertanya, siapakah yang diuntungkan dengan pembangunan tidak berkelanjutan ini? PT TWBI, juga pemerintah daerah, DPRD, DPRRI yang berkonspirasi memenangkan proyek reklamasi harus paham bahwa masyarakat tidak akan tinggal diam. Bahwa gelombang perlawanan akan semakin luas dan membesar. Sejarah pun akan mencatat, mereka yang memilih diam dan netral melihat penjarahan keji yang dilakukan menggunakan bulldozer dan mesin keruk. Sejarah pula yang akan menuliskan, bagaimana sikap Presiden baru Republik Indonesia Joko Widodo menyikapi polemik ini. Apakah ia akan memunggungi laut, atau sebaliknya, mencabut Perpres no. 51 tahun 2014 dan menyelamatkan wilayah konservasi Teluk Benoa.

Sebagai kesimpulan, masyarakat Bali harus mengingat! Ingatlah tanah yang telah diperjuangkan dengan pengorbanan nyawa dan darah. Ingatlah perempuan-perempuan yang melempar uang kepeng ke arah tentara dan menukarkan nyawanya demi membela tanah. Ingatlah, agar pengorbanan mereka tidak sia-sia, dan monumen patung-patung mereka tidak menjadi bangunan hampa.

Ingatlah, dan mulai bergerak!

Salam adil dan lestari,

Tolak Reklamasi Teluk Benoa!

Rahajeng Galungan Lan Kuningan.


[1] Seabad Puputan Badung, Perspektif Belanda dan Bali, (ed) Helen Creese, Darma Putra, Henk Schulte Nordholt, hlm. 75, Pustaka Larasan, Bali, 2006

[2] ibid. hlm. 140

[3] ibid. hlm. 5

[4] ibid. hlm. 128

[5] Esai yang dipublikasi  pada tanggal 3 Oktober 2014 di laman blog dengan judul, “Ironi Bali Abad 21: Dari Tawan Karang sampai Karang Ketawan (Reklamasi)” Lihat https://budaya.wordpress.com karya Sugi Lanus.

[6] Ibid.

[8] Puisi Bumi merupakan salah satu rangkaian acara yang diselenggarakan ForBALI yang bertujuan mengkampanyekan misi penyelamatan Teluk Benoa. Acara ini melibatkan penyair, budayawan, musisi yang memiliki kepedulian terhadap kelestarian alam Bali.